Anak adalah Perekam Hebat

Sudah seminggu lebih keberadaanku di rumah, di kampung halaman, kampung halamanku yang sesungguhnya. Aku tahu betul kalau  selama ini kebanyakan orang hanya mengenalku sebagai  “orang Tolitoli” atau “orang Palu” tanpa tahu spesifik lokasi kampung halamanku dimana. Pinjan Kec. Tolitoli Utara Kab. Tolitoli, hanya sebagian kecil orang yang mengetahui secara pasti kampung halamanku ini. Ya benar, hampir 2 minggu sudah keberadaanku, namun kali ini tak seperti biasanya, tidak ada aktivitas seperti biasanya, belajar bersama anak-anak, di rumahku. Di beberapa kesempatan, ketika aku sedang di jalan, anak-anak yang kebetulah berpapasan denganku selalu bertanya “Kak kapan datang? Kak kapan kita belajar lagi?”. Aaahh, rasanya berat untuk menjawab tak akan ada belajar bersama kali ini olehnya aku hanya menjawab simpel “kalau kalian mau belajar ke rumah saja”, tak ada himbauan khusus. Memang,  Kali ini aku tak banyak belajar dan bermain bersama anak-anak yang biasanya selalu ramai datang ke rumah ketika aku pulang kampung, aku menahan diri untuk hal itu, meskipun tak menahan diri seutuhnya karena agenda kepulangan kali ini adalah “Family Time” dan agenda selipan “mengejar restu orang tua”. Hahahaa. Meski begitu, aku tetap meluangkan waktu untuk beberapa anak yang semangat belajar itu, meski yang paling banyak dan  sering adalah mereka yang tak lain adalah saudara sepupu, keponakan dan beberapa tetangga terdekatku. Aku tak banyak keluar rumah dan jalan-jalan touring keliling kompleks, hanya beberapa kali aku sempatkan untuk jalan-jalan. Kata seorang teman, “Keluarlah jalan-jalan biar orang sini tau bahwa kau ndak lupa pulang kampung”.




***
Suatu pagi.  tepatnya menjelang siang di hari Ahad, waktunya anak-anak libur. Tentu saja, mayoritas anak-anak akan menghabiskan waktunya untuk bermain di hari libur. Kebetulan, ada sebuah tanah lapang yang dekat dari rumahku, letaknya sekitar 6 rumah ke arah pantai. Lahan ini menjadi spot favorite anak-anak untuk bermain beragam permainan mulai dari main kelereng, main sandal, main logo (terbuat dari  batok kelapa dan bambu), main cip (main kejar-kejaran), main lompat tali, dll. 
Aku sedang duduk di teras rumah tanteku pagi itu, di waktu yang bersamaan sebuah pertengkaran antar 2 orang Ibu-Ibu di kompleks itu terjadi. Meski hanya adu mulut, namun hal itu mampu menarik perhatian banyak orang.  Adu mulut pun berlangsung cukup sengit. Aku tak tahu pasti apa akar permasalahannya apa, karena dari awal aku tak tertarik untuk mengkepoi akar masalahnya. Hanya sedikit tertangkap olehku dari orang-orang yang lalu lalang sambil berbicara dan memang orang yang sengaja datang untuk menyaksikan kegiatan itu bahwa masalahnya terjadi karena kesalahpahaman.

Perhatianku lebih tertarik ke arah aktivitas anak-anak tadi, beragam tingkatan dari kelas 1 hingga kelas 3 SD, yang tadinya asyik dengan dunianya, “bermain”, tetiba teralihkan menjadi nonton orang yang bertengkar. Mereka merapat ke lokasi pertengkaran karena memang sangat dekat dari tempat mereka bermain. Rasa penasaran tak terbendung. Hingga akhirnya, tak hanya menjadi penonton tapi juga pendengar, penyimak dan perekam.
***
Aku mencoba mendekat dan menatap dari kejauhan. Terdengar banyak sekali kata dan kalimat-kalimat kasar dalam bahasa Tolitoli dan kurang layak untuk di dengar oleh anak-anak. Gemes melihat hal ini.  Berikut ini adalah contoh kalimat yang keluar dari mulut mereka yang ku ingat dengan jelas.


“Isei kau? Memang kau pommitanaa, rambang baba, pongngupo, panako...”
“Kamu siapa? Memang kamu tukang fitnah, tukang gosip, pembohong, pencuri...”

Cukup lama adu mulut itu berlangsung hingga akhirnya bisa dilerai hingga kondisi menjadi lebih kondusif. Orang-orang yang berkumpul juga bubar termasuk anak-anak tadi. Mereka kembali bermain setelah sebelumnya sempat bergosip dulu meski dengan ala mereka.

Beberapa saat setelah itu, aku berjalan mendekati sekelompok Ibu-Ibu yang asyik bercerita sambil menjaga padi yang di jemur di halaman rumahna agar tidak di makan ayam, bebek dan itik yang berkeliaran. Pun aku menyempatkan untuk mendekati anak-anak yang sedang seru bermain.
***


“Memang kau pommitanaa, rambang baba, pongngupo, panako...
Memang kau pommitanaa, rambang baba, pongngupo, panako...
Memang kau pommitanaa, rambang baba, pongngupo, panako...
Pommitanaa...
Rambang baba...
 Pongngupo...
Panako...



Terdengar beberapa anak-anak yang sedang asyik bermain sambil menyanyikan lirik di atas dengan nada ciptaan mereka sendiri. Mereka bernyanyi sambil bergantian dan mengucap lirik dengan fasih diiringi renyahnya suara tawa mereka seolah kalimat yang mereka ucapkan merupakan kalimat yang baik-baik saja. Aku kaget dan menegur. Miris !
***
Sangat miris memang!
Namun, begitulah anak-anak, dengan mudahnya akan mudah terpengaruh dengan apa yang dilihat dan di dengarnya apalagi jika mereka mendengar dari orang-orang yang lebih tua maka hal itu akan mereka praktikkan dengan mudahnya. Hal-hal seperti ini akan merusak karakter anak bangsa jika dibiarkan terus terjadi secara berkelanjutan.  Karena anak-anak kita adalah perekam hebat, maka mari sama-sama menciptakan dan memberi contoh karakter berkehidupan yang sehat agar hal-hal yang terekam adalah hal-hal yang sehat.

Lantas, Siapa yang harus bertanggung jawab atas karakter kurang sehat yang terbentuk pada anak-anak? Ya, tentu saja bukan tanggung  jawab sepihak saja, semua pihak  harus terlibat dalam penyelamatan generasi pelanjut estafet pertahanan bangsa ini. Bukan hanya orang tua tapi semua elemen-elemen masyarakat di lingkungannya.
***
Cuaca tetiba mendung dan hujan. Aku memilih berteduh dan pulang ke rumah. Sementara, anak-anak tetap melanjutkan aktivitasnya dibawah guyuran hujan ditemani suara larangan orang tua mereka yang menyuruh untuk pulang namun terabaikan. Mereka seru bermain, sedangkan aku harus pulang dengan menjumpai fakta miris hari itu. Benar saja, Pe er kita masih belum tuntas.

2 comments

It's nice to see you !