Tidak ada seorang pun yang benar-benar siap kehilangan. Kita boleh merencanakan banyak hal dalam hidup. Sebut saja pendidikan, karier, perjalanan, bahkan masa depan. Namun, kehilangan selalu datang sebagai sesuatu yang tak pernah masuk daftar rencana. Ia hadir diam-diam, mengetuk kesadaran kita dengan cara yang sering kali menyakitkan. Tak ada manusia yang menginginkan kehilangan orang-orang tercinta. Aku pun tidak. Namun hidup tidak selalu menunggu kesiapan kita.
Sejak lulus SMP, aku telah belajar hidup jauh dari keluarga. Merantau, bertumbuh sendiri, dan belajar berdiri di atas kaki sendiri di tempat yang tak pernah benar-benar bisa kusebut rumah. Dari kejauhan itu, aku banyak belajar tentang kemandirian, tentang ketahanan, tentang bagaimana menata hidup tanpa bergantung pada siapa pun. Tetapi jarak juga mengajarkanku pelajaran lain yang jauh lebih sunyi. Pelajaran bahwa kebersamaan adalah sesuatu yang rapuh, dan waktu bersama keluarga tidak pernah bisa dijamin.
Hidup berjauhan membuatku akrab dan harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. Setiap kali berpamitan, aku selalu menyimpan satu kesadaran di sudut hatiku. Kesadaran bahwa bisa saja ini adalah pertemuan terakhir. Bukan karena aku ingin hidup dalam ketakutan, melainkan karena aku ingin menghormati setiap detik kebersamaan. Karena itulah, setiap kali kendaraan bergerak menjauh dari rumah, air mataku selalu tumpah. Tangis yang tak pernah kutunjukkan di hadapan mereka yang kutinggalkan. Tangis yang kugenggam sendirian agar kepergianku tak meninggalkan luka tambahan.
Ironisnya, semakin sering pergi, bukan berarti aku menjadi kebal. Justru sebaliknya. Rasa itu tetap sama. Perihnya tak berkurang. Setiap perpisahan selalu terasa seperti yang pertama.
Aku telah menerima banyak kabar duka dari kejauhan. Kakek dan Nenek berpulang satu per satu tanpa sempat kusaksikan pemakaman mereka. Ada yang bercanda menyebutku cucu durhaka. Cucu yang tak pernah hadir. Aku hanya tersenyum, karena aku tahu bahwa tidak semua ketidakhadiran lahir dari ketidakpedulian. Ada keadaan yang memaksa kita memilih, dan tak semua pilihan terasa adil.
Sejak saat itu, rasa takut kehilangan tinggal lebih lama dalam diriku. Setiap telepon di jam-jam tak wajar selalu membuat dadaku berdebar. Setiap pesan yang datang tiba-tiba membuat pikiranku berlari ke berbagai kemungkinan. Dari sanalah aku memahami satu hal dengan jujur. Memang tak diragukan lagi manusia tak pernah benar-benar siap kehilangan. Yang bisa kita lakukan hanyalah belajar menerima, pelan-pelan, dengan hati yang terus dilatih.
Pulang sebagai Sebuah Kesadaran
Di usia yang semakin dewasa, aku mulai mempertanyakan banyak hal. Untuk apa sebenarnya semua perjalanan jauh ini? Untuk siapa semua pencapaian itu? Di titik itulah aku sampai pada satu kerinduan untuk selalu "pulang". Bukan hanya pulang secara fisik, tetapi pulang dengan kesadaran penuh. Hadir, menyimak, dan membersamai.
Resolusi 2025 lahir dari sana. Aku ingin meluangkan lebih banyak waktu untuk keluarga. Aku ingin mendekat, bukan lagi sekadar menanyakan kabar lewat telepon. Bahkan, aku menolak tawaran pekerjaan yang mengharuskanku kembali pergi jauh. Aku memilih bertahan di Kota Palu. Meski sebenarnya masih cukup jauh dari rumah. Tetapi inilah pilihan terbaik saat ini. Pilihan yang mungkin terlihat biasa bagi orang lain, tetapi bagiku sarat makna. Untuk pertama kalinya, aku memilih kedekatan daripada ambisi.
Aku percaya, niat baik tidak pernah sia-sia. Dan Tuhan, dengan cara-Nya menjawab niat itu, ingin pulang membersamai keluarga, meski melalui jalan yang tak pernah kubayangkan.
Telepon itu datang di jam yang sunyi. Suara adikku terdengar memintaku pulang. Awalnya terdengar tenang, lalu pecah oleh tangis. Mama memintaku pulang. Kondisinya tidak sedang baik-baik saja.
Di saat itu, aku tahu bahwa ini adalah panggilan pulang yang tak bisa kutolak.
Hari-hari yang Menguji
Perjalanan pulang terasa panjang. Rumah dipenuhi orang. Aku memeluk Bapak, dan untuk pertama kalinya, aku membiarkan diriku menangis di hadapan orang lain. Aku lalu menemui Mama yang sedang terbaring karena sakit keras.
Hari-hari berikutnya adalah rangkaian keputusan berat, perjalanan panjang, dan rasa lelah yang sering kali melampaui batas fisik. Ada masa ketika aku benar-benar kehabisan tenaga dan harapan. Ada momen ketika doa yang keluar dari bibirku bukan lagi permintaan, melainkan kepasrahan “Tuhan, apapun takdir-Mu, aku ikhlas.”
Namun justru di titik paling pasrah itu, aku belajar bahwa harapan memiliki banyak wajah. Ia tidak selalu datang sebagai keajaiban besar. Kadang ia hadir sebagai keputusan kecil untuk mencoba sekali lagi. Berusaha lagi berobat ke dokter yang lain. Menemukan obat lainnya yang cocok.
Aku menyaksikan sendiri bagaimana Mama perlahan membaik. Tidak instan. Tidak sempurna. Tapi cukup untuk menyalakan harapan.
Bentuk cinta yang paling hening
Aku mengambil alih semua urusan domestik di rumah. Mencuci pakaian, memasak, membersihkan rumah. Aktivitas yang dulu tak pernah kupikirkan sebagai sesuatu yang istimewa. Kini, semua itu menjadi ruang kontemplasi. Di sana aku belajar bahwa merawat bukan sekadar tugas, melainkan bentuk cinta yang paling hening dan tulus.
Aku harus resign dari perkerjaan. Banyak rencana pribadi kubatalkan. Bukan karena aku menyerah pada hidup, tetapi karena aku memilih untuk hadir sepenuhnya di fase ini.
Lelah? Iya, sangat melelahkan. Namun, justru aku merasa pulang pada diriku sendiri.
Waktu yang Mengubah Cara Pandang
Empat bulan kuhabiskan di rumah. Waktu ini adalah waktu terlama yang pernah kumiliki dalam hampir sepuluh tahun terakhir. Aku menyaksikan dinamika keluarga secara lebih dekat. Aku jadi memahami bahwa keadaan "rumah" tidak selalu stabil, namun selalu menyediakan ruang untuk kembali. Aku belajar bahwa kebersamaan tidak harus sempurna untuk menjadi bermakna.
Kini, aku melihat hidup dengan cara yang berbeda.
Kehilangan masih menakutkan, tetapi ia tak lagi hanya soal ketakutan. Ia juga tentang kesadaran. Tentang menghargai pertemuan, sekecil apa pun. Tentang hadir sepenuh hati selagi waktu masih diberikan.
Optimisme yang kupelajari bukanlah keyakinan bahwa hidup akan selalu mudah. Melainkan kepercayaan bahwa apa pun yang terjadi, kita akan mampu menjalaninya selama kita mau mencintai dengan sadar dan hadir dengan utuh.
Semoga Allah panjangkan umur kita semua.
Dan semoga kita selalu diberi cukup waktu untuk benar-benar hadir bagi mereka yang kita cintai.
-----
Palu, 28 Desember 2025 (Pukul 04.03 WITA)
Ditulis karna ga bisa tidur setelah minum a cup of Kopi Susu Gula Aren dari Sepertiga by BRKH - Kopinya diminum pukul 23.00s.

