Nisa tak bisa berkata
apa-apa lagi, Nisa terdiam.
“
Halo halo, apakah masih ada orang disana “, terdengar suara sahabat Nisa ,Vera
namanya, dari handphone yang tengah digenggam Nisa.
“
Hellloooo,, Nisaa kenapa diam ?“
“Oowhh,
nggak kenapa-napa kok. Terus apa yang kamu katakan tadi ?”
“
Nisa menurut kamu, aku harus bagaimana ? rasanya aku sudah tak tahan lagi lama-lama
tinggal di pondok pesantren ini. Sungguh sangat diluar dugaanku. Aku ingin
pindah dari pondok ini. Aku ingin pulang.
“
Vera, bersabarlah tak lama lagi kamu
juga bakalan lulus dari pesantren itu dan kamu bisa keluar dari pesantren itu.
Aku yakin kalau kamu ingin keluar dari pondok sekarang orang tua kamu pasti nggak nge-izinin
kamu. Yakin dehh !!!”
“Gimana
kalau aku……..” Belum sempat Vera menyelesaikan pembicaraannya, hubungan telfon
terputus.
“
Pasti jaringan disana ngambek lagi” gumam Vera dalam hati seraya mematikan
HP-nya.
--------------©©©©------------
Vera
adalah sahabat NIsa, sejak TK mereka berdua sudah sering bersama-sama,
menghabiskan waktu belajar, bermain bersam-sama, hingga mereka duduk di bangku
SMP kelas VIII. Pada saat kenaikan kelas, orang tua Vera bermaksud hendak
mengirimkan Vera ke salah satu Pondok pesantren yang berada dekat dari daerah
tempat tinggal mereka, Pesantren Al-Hijrah namanya. Kedua orang tua Vera bekerja sebagai
pengusaha tambang emas terkenal di daerahnya, sehingga hampir setiap harinya
mereka selalu disibukkan dengan urusan pekerjaan. Waktu untuk Vera terlalu singkat.
Ibunya bahkan tak pernah menyempatkan diri untuk menemani Vera meski itu adalah
hari libur. Berbeda dengan Om Dzaki Ayah Vera, ia selalu berusaha untuk
menyempatkan diri untuk menemani dan mencurahkan kasih sayang kepada anaknya,
Vera. Meski begitu bagi Vera tetap saja perhatian seorang Ayah berbeda dengan
perhatian seorang Ibu kepada anaknya. Selama ini Vera aus akan kasih sayang
seorang Ibu.
Kini Vera sudah berada di pesantren,
awalnya Vera tidak setuju dengan keputusan Ayahnya ini namun pada akhirnya Ia
mau atas saran dari sahabatnya Nisa. Ayahnya memutuskan untuk mengirim Vera ke
pondok pesantren, Ayahnya takut Vera menjadi anak yang nakal dan jauh dari
agama Karena hampir tiap hari ia hanya sendirian di rumah apalagi Ibunda Vera
yang sepertinya tidak perduli terhadap Vera. Akan lebih baik jika Vera dikirim
ke Pesantren disana tentunya Ia akan mendapat bimbingan dari para
Ustadz-ustadzah, pikir Ayahnya.
--------------©©©©------------
Sebagai remaja yang baru mulai tumbuh,
Vera merasa risih dengan suasana yang baru, Ia merasa tidak betah tinggal di
pesantren ini. Pada saat liburan , Ia mencoba mengutarakan keinginannya untuk
keluar dari pesantren kepada Ayahnya.
“Ayah aku ingin ngomong sama Ayah”
“Ngomong saja sayang ,emangnya anak Ayah
mau ngomongin apa sih ?sepertinya serius banget nih ?!”
“Begini Yah, Vera pingin keluar dari
pesantren Al-HIjrah”
“Apa? Memangnya kenapa dengan pesantren
Al-Hijrah?”
Vera tak menjawab pertanyaan Ayahnya. Ia
diam membisu.
“Sayang, emangnya kenapa kamu ingin
keluar dari pesantren ?”, kata Ayahnya dengan lemah lembut sembari memeluk
putrinya.
“Vera nggak betah disana Yah. Vera
merasa terasingkan. Vera mau keluar saja dari sana” Kata Vera dengan wajah
manyun penuh permohonan.
“Ooowwhh,, itu masalahnya. Sayang,
sebenarnya mereka itu tidak mengasingkan kamu. Itu perasaan kamu saja, lagian
kamukan masih baru disana. Emang susah loo beradaptasi dengan lingkungan baru,
apalagi orang yang pendiam seperti putrid Ayah… Tapi, sebenarnya Mereka itu ramah-ramah lho, hanya kamu saja yang belum
kenal dengan mereka. Sayang, yakin dehh mereka itu anak yang baik-baik. Masa
sihh putrid Ayah cepat putus asa seperti itu..”
“Tapi Yah..”
“Kalau memang kamu ingin keluar,
Nantilah setelah kelulusan rugi lhoo kalau kamu pindah sekarang”
“Ya sudahlah, kalau memang itu mau Ayah”
Selama ini Vera sangat dekat dengan
Ayahnya dibanding Ibunya. Vera tak mau pusing lagi dengan ibunya yang tidak
perduli kepadanya.
-----------©©©©-------------
Hari ini pengumuman kelulusan.
Teman-teman Vera semua tampak sangat bahagia, karena presentase kelulusan tahun
ini seratus persen.
“Ve, kamu kenapa , kok nangis ?”
“Aku nggak kenapa-napa kok. Ini tangis
bahagia”
“ Serius nih ?!!! kalau ada masalah
cerita yah sama aku”
“Iya”
Dalam hati Vera tak terlintas sedikitpun
rasa kebahagiaan meskipun Ia menjadi juara umum saat itu. Ia menatap
teman-temannya yang sedang bersuka cita bersama kedua orang tua mereka, dengan
tatapan iri. Tak ada ucapan selamat dari Iibunda Vera, hanya Ayah yang
menghadiri acara kelulusan itu dan memberikan ucapan selamat kepada putri
tercintanya.
“Yah kok Ibu ndak datang sih??”
“kamu tahu sendiri kan Ibu kamu itu seperti apa,, Ibu kamu lagi sibuk saying, hari
ini Ia harus keluar kota krenaa ada urusan pekerjaan, yang sangat penting”
“Pasti pekerjaan lagi. Ibu lebih memilih pekerjaan disbanding akuu.. Memang dari dulu Ibu tak pernah memikirkan
Vera. Ibu nggak sayang sama Vera..”
“Sayang, kamu nggak boleh ngomong seperti itu., Ibu pasti sayang sama
Vera, Cuma kali ini Ibu benar-benar sibuk, kalau Ibu sempat pasti Ia datang”,
Ayah membesarkan hati Vera”
“Baguslah kalau seperti itu”
“Ooohh yaa.. Ayah mau Tanya, apakah kamu
masih tetap ingin pindah dari pesantren ini, seperti keinginan kamu beberapawaktu
lalu??”
“Aku ingin tetap disini saja Yah. Aku
nggak mau pindah ke tempat lain, Vera ingin melanjutkan Aliyah disini saja.
Vera sangat betah disini Yah, memang benar kata Ayah waktu itu, orang disini
ramah-ramah, semuanya baik sama Vera”
“Ayah senang kalau memang kamu ingin
tetap disini”
Kini Vera tumbuh menjadi gadis remaja
yang pandai dan berakhlak mulia
.
-----------©©©©-------------
Bunga ditabur diatas gundukan tanah,
didalamnya terbaring Adzaky Al-Hidayah. Ia tak kuasa lagi bergerak. Kini ia
telah terbujur kaku didalam pembaringan kekal. Ayah Vera meninggal karena
kecelakaan yang terjadi saat Vera dan Ayahnya akan pulang ke rumah seusai acara
kelulusan. Mobil yang mereka tumpangi bertabrakan dengan truk pengangkut pasir,
tragis Ayah Vera tewas seketika, akan tetapi Vera memiliki nasib baik.
Alhamdulillah Ia masih bisa diselamatkan.
Vera sangat terpukul atas kepergian
Ayahnya. Sampai beberapa hari Ia tidak mau makan, meski hanya sesuap. Aiyla
saudari sepupu Vera sangat cemas dengan keadaan Vera, hingga akhirnya Ia
membawa Vera ke Rumah Sakit karena kondisinya semakin melemah.
Semenjak Ayah Vera meninggal, Ibunya
semakin jarang berada di rumah. Hal ini sangat bertentangan dengan harapan
Vera. Ia berharap dengan kepergian Ayahnya, Ibu bisa berubah menjadi lebih perhatian
terhadap Vera. Namun, semua diluar dugaan, sejak perustiwa itu Ibunya semakin
jarang di rumah bahkan ketika Vera masuk rumah sakit, Ia tak menjenguknya. Hal
ini menimbulkan perasaan benci dalam diri Vera kepada Ibunya.
-----------©©©©-------------
Vera sudah tidak berada di pesantren
lagi. Tante Frista Ibu Vera tidak mengizinkan Vera untuk melanjutkan sekolah ke
tingkat selanjutnya. Di rumah, Vera diperlakukan layaknya seorang pembantu oleh
Ibu kandunganya sendiri. Pagi ini Vera sangat terkejut ketika mendengar kabar
melalui telfon bahwa Ibunya telah menikah dengan seorang lelaki yang tidak
asing baginya, yaitu Ayah Nisa, sahabatnya. Entah siapa yang menelfonnya.
“Apa??? Astagfirullah.. Nggak mungkin
Ibu nikah lagi..Anda pasti salah orang!!!!!”
Vera diam mendengarkan penjelasan dari
orang yang menelfonnya
“haaa,, menikah dengan Ayah
Nisa,sahabatku”
…..
Vera langsung mematikan HP-nya setelah
mengetahui bahwa Ibunya menikah dengan Ayah Nisa, sahabatnya.
“Ibu mengapa Ibu jadi seperti ini.
Apakah selama ini ibu tak menginginkan kehadiranku.Ibu kau perlakukan aku
layaknya seorang pembantu…….. Hidupku hancur….. aaaaaaaaaaaaaaaaaggggggghhh…
Vera seperti kapal kehilangan arah. Ayah
telah pergi, Ibu telah meninggalkannya dan menikah dengan Ayah sahabatnya,
tanpa sepengetahuan Vera. Vera tak mengetahui Ibunya entah telah pergi kemana,
sudah enam bulan Ia tak pulang-pulang jua. Vera tinggal sendiri di rumah
peninggalan orang tuanya. Ia telah putus asa menjalani kehidupan yang seperti
ini.
-----------©©©©-------------
“Assalamualaikum… tok tok tok”,
terdengar pintu diketuk dari luar
“Wa’alaikumsalam, silahkan masuk,
pintunya tidak terkunci”
Di depan Vera berdiri Nisa sahabatnya
sejak kanak-kanak dengan penampilan berbeda, Annisa berdiri dihadapan Vera
dengan pakaian muslimah, berjilbab, dengan penuh wibawa. Nisa dan Vera
bertatapan dengan perasaan campur aduk.
“Veraa, akuu rindu sama kamu, sudah lama
kita tidak berjumpa”, kata Nisa sambil berjalan menuju tempat Vera berdiri
menatapnya. Nisa memeluk Vera.
“Ngapain kamu datang kemari, belum cukup
kamu buat hidupku hancur ? Pergi kamu dari sini”, Vera berteriak histeris
Nisa semakin mempererat pelukannya, air
matanya telah membasahi pipi, Nisa berkata, “Ve, kamu fikir hanya kamu yang
tersakiti, aku juga sangat terpukul ketika aku tahu Ayahku nikah sama Ibuku.
Tapi, kita tidak boleh terus terpuruk seperti ini, semua hanya akan sia-sia”.
“Tapi Nisaa,, hidupku sudah terlanjur
hancur. Kamu tak tahuu bagaimana perasaanku saat ini”
“Ve aku tahu bagaimana perasaan kamu
saat ini, tapi kalau kamu begini terus, ndak ada gunanya Ve. Trus ilmu yang kamu
dapatkan di pesantren itu mau kamu apain, kalau tidak diamalkan…”
Vera terdiam kemudian terdengar suara
isak tangisnya. Ia telah menyadari semuanya.
-----------©©©©------------
Nisa dan Ibundanya mengajak Vera tinggal
bersama di rumah mereka. Kini Vera melanjutkan Aliyah bersama dengan Nisa di
pondok pesantren Al-Izzah.Lambat laun Vera mulai melupakan kenangan buruk, masa
lalu keluarganya. Vera tumbuh menjadi wanita muslimah berkepribadian tangguh,
yang belajar dari masa lalunya.
-----THE END------