SHARING AWARDEE : Persiapan Seleksi Wawancara LPDP bersama Kak RH. Andriansyah #1
Hey, you
all, scholarship hunters, LPDP fighters..
Untuk apply
sebuah beasiswa adalah sebuah proses panjang yang butuh banyak persiapan dalam
menghadapi setiap rangkaiannya. Tentu saja, bukan hal mudah untuk mempersiapkan
itu semua. Butuh banyak gambaran untuk meyakinkan diri bahwa kita layak dan
benar-benar sudah siap “tempur”. Olehnya,
saya sangat ingin kalo apa yang
saya tahu dan alami teman-teman juga tahu dan jalani agar kebermanfaatannya
bisa dirasakan oleh lebih banyak orang, banyak yang termudahkan.
Sebagai
perwujudan dari hal tersebut, saya akan terus
nge-post hal seputar beasiswa LPDP, baik itu berupa informasi atas
pengalaman pribadi ataupun pengalaman teman-teman lainnya. Harapannya, ini bisa
membantu para LPDP Fighters untuk memperoleh *at least* gambaran mengenai
hal-hal krusial dari setiap tahapan seleksi beasiswa ini.
Kali ini, saya akan membagikan ringkasan hasil sharing
berupa QnA di WAG LPDP FIGHTER 2019 tentang tentang Persiapan Seleksi
Wawancara bersama Kak RH. Andriansyah (Awardee LPDP REGULER LN, Cornell University, PhD in Organizational
Behavior).
Selamat
membaca dan menyimak...
Question
Q1 - Q8
*****
Q1 : Dalam tes wawancara, apa pertanyaan paling sulit untuk dijawab dan
sering menjadi bahan interviewer untuk mungkin memojokkan atau mengkritik kita ?
Pertanyaannya akan
beda-beda, tergantung profil masing-masing calon awardee (CA), berdasarkan biodata, CV, essay, dan lain-lain. Reviewer akan selalu tahu apa yang menjadi
‘titik lemah’ dari masing-masing CA,
sekaligus jadi hal yang paling tidak nyaman bagi calon tsb, baik dari segi
kompetensi, study plan, dll.
Contoh, di kasus saya,
yang ditanyakan: Saya belum punya pengalaman publikasi ilmiah namun kok daftar S3 dan di rencana kontribusi ingin mengembangkan diktat kuliah
untuk Manajemen Dakwah, kan tidak mungkin bisa. Saya juga ditanya tentang
pilihan kampus, kenapa tidak memilih Turki, Mesir atau semacamnya yang dianggap
lebih dekat dengan bidang saya yaitu dakwah (sampai saya dan reviewer agak
eyel2an terkait topik ini, hehe).
Contoh lain teman saya
dari UM (Malang) yang juga dosen mau S3 ke Singapore, kebetulan wanita
bersuamikan tentara, yang ditanyakan: apakah menempuh S3 tidak akan mengganggu relasi suami-istri di rumah karena membuat tingkat pendidikan
wanita (dan jenjang karir) lebih tinggi daripada suaminya.
Contoh lain lagi, dulu
ada CA yang profilnya berbisnis busana muslimah, ditanyai kok dia sendiri wanita tidak berhijab (kasusnya sempat ramai di media
massa). Menurut saya ini pertanyaan substansi, tapi sama CA tersebut dianggap reviewernya rasis/diskriminatif,
padahal sepertinya CA tersebut yang tidak memahami arah
pertanyannya, bagaimana menjual sesuatu kepada orang lain, tapi secara value kita
sendiri tidak percaya/menerapkannya.
Jadi, saran saya, silahkan refleksi diri untuk mengetahui SWOT masing-masing, khususnya apa yang jadi kelemahan diri kita, mulai yang paling
kelihatan jelas sampai yang samar-samar. The more the better. Tiap CA pasti
beda-beda. Be brave. Don’t deny your weakness. Face it, find a way to spin it,
turn it into opportunity.
Gunakan Strength kita menjadi hal yang bisa menjawab Weakness. Jangan mencari rasionalisasi,
pembenaran, atau blaming others seperti atasan yang kurang supportif,
belum ada kesempatan, dan semacamnya. We’re expected to be future leaders, so
we’re responsible of our own and find a way to fix things. Speak confidently but not over-confidently. They can smell your fear
and your effort to hide things.
Saya saat menghadapi
pertanyaan diatas tadi (tentang publikasi) menjawab begini:
“Saya akui memang belum ada pengalaman publikasi
ilmiah karena masih on progress dan belajar. Tapi saya yakin saya bisa
karena saya punya potensi dan kemampuan untuk itu. Semua karya tugas akhir saya
skripsi di S1 dan tesis S2 berhasil mengantar saya menjadi wisudawan terbaik,
dan di kampus juga dilibatkan dalam tim pengembangan kurikulum prodi. Jadi saya
yakin saya mampu”.
Q2 : Sampai sejauh apa kriteria nasionalisme yang diinginkan LPDP, krn saya jg jurusan managemen dakwah?
Kalo kriteria umum
yang mutlak adalah berideologi pancasila, anti separatisme, anti gerakan
radikalisme dalam berbagai bentuknya, baik yang berbasis agama maupun non
agama. Dan ini tidak ada hubungannya dengan background jurusan, hehehe...
Biasanya reviewer akan
menanyakan pandangan kita tentang isu-isu seperti HTI, OPM, dan semacamnya,
lagi-lagi menyesuaikan dengan background CA.
Saya dulu ditanyakan
tentang gerakan NII, Pesantren Al-Zaytun, gerakan Ihwanul Muslimin dan
hubungannya dengan HTI, dan bagaimana pergerakan islam fundamental di Indonesia (kebetulan di CV saya tuliskan pengalaman
menjadi pembicara di berbagai seminar tentang anti-radikalisme di kalangan
pelajar).
Teman saya yang pernah
1-2 semester exchange di China ditanyai tentang gerakan Komunis dan penyusupan
komunisme China ke Indonesia.
Dari fenomena-fenomena gerakan anti pancasila tersebut, reviewer juga menanyakan, lantas seberapa kuat kedudukan Pancasila
saat ini menurut saya.
Saya jawab dengan
mantap sesuai yang saya yakini:
“Saya yakin Pancasila sangat
kuat, mengakar di seluruh rakyat Indonesia.
Adanya gerakan-gerakan
demikian bukan cerminan seluruh rakyat Indonesia. Ia hanya sebagian kecil
kelompok-kelompok tidak bertanggungjawab dan penuh kepentingan politik. Meski demikian kita tetap
tidak boleh mengecilkan fenomena-fenomena tersebut dan harus secara sistematis
melakukan pemberantasan dan pencegahan.
Saran saya, berikan
jawaban yang tegas terkait sikap anda terhadap Pancasila. Jika reviewer
menanyakan hal-hal yang sudah detail/teknis di luar jangkauan pengetahuan anda: Tetap usahakan beri jawaban secara global (dan nyatakan secara
eksplisit ‘secara prinsip/secara umum menurut saya...’), lebih bagus lagi kalo
anda membaca-baca berita terkait topik tersebut, agar setidak-tidak menunjukkan
anda juga concern terhadap isu penting bangsa kita.
Setelah itu, jawab
saja secara jujur “belum tahu lebih detail dan
mendalam lagi”.
Jangan memaksakan jawaban yang anda sendiri tidak tahu, karena mereka
orang-orang yang lebih tahu dan bisa mencium kebohongan anda. Ingat, hanya
karena anda tidak tahu detail-detail isu tersebut bukan
berarti anda tidak layak LPDP.
Menurut saya,
prinsipnya They want to know how much you concern to our
nation’s fundamental issues and how you position yourself toward the issues. LPDP tidak ingin mengulangi kesalahan dua kali membiayai awardee pake
uang rakyat, ternyata setelah lulus malah mendukung Papua merdeka. Like, what??
Q3: Apakah kita harus memikiki rencana
tesis/disertasi secara detail termasuk teori yg akan digunakan? Atau hanya
sampai pada rumusan masalah?
Secara umum, iya,
harus. Ini menunjukkan kesungguhan dan kesiapan kita melanjutkan studi. Namun
secara khusus, tergantung program yang diambil.
S2 ada kampus yang
pake program by research ada yang by coursework. Kalo yang coursework, rencana tesis tetap harus lengkap, tapi kan
masih tentatif mengikuti proses perkuliahannya. Kalo yg by research, rencana
tesis cukup fundamental, jadi tidak hanya lengkap, melainkan juga harus well
thought of. Apalagi S3, pasti research dan harus well-prepared.
Seberapa jauh rencana
tesis/disertasi ini ditanyakan dalam interview? Yang pasti ditanyakan
(biasanya) adalah relevansi terhadap kompetensi & kontribusinya bagi
Indonesia (ya pasti lah ya!). tentang detailing seperti kerangka teori, metpen,
dsb, biasanya ga sampe masuk kesana. Waktunya ga cukup, hehehe...
Q4 : Kak seperti apa gambaran umum saat wawancara dan point2 apa yg
ditanyakan berdasarkan pengalaman kak ardiansyah?
Wawancara dengan 3 reviewer, Dosen, Psikolog &
Praktisi (sepertinya dari BIN). Secara umum poin yang ditanyakan:
1.
Pilihan univ dan
prodi/spesialisasi: Kenapa Cornell, kenapa bukan
Mesir/Turki/semacamnya? Kan bidang dakwah ? Ini pertanyaan awalannya,
selanjutnya printilan2 pendalaman dari topik ini yang panjang dan berujung
sedikit eyel-eyelan.
2.
Topik rencana kontribusi: Apa pentingnya manajemen
dakwah di indonesia, fenomena masalah apa yang menjadi perhatian? Apakah bisa
mewujudkan impian bikin diktat sedangkan tidak punya publikasi? Sama, ini pertanyaan awalan,
selanjutnya pendalaman2 terhadap jawaban saya waktu itu (untung reviewernya
woles, jadi ga sampai eyel2an, hehe)
3.
Topik nasionalisme: Bagaimana arah, pergerakan
& pengorganisasian islam fundamental di Indonesia?, Bagaimana pandangan/sikap
saya terkait Pesantren Al-Zaytun?, Bagaimana pandangan/sikap
saya terkait HTI dan Ihwanul Muslimin, ini beda atau sama, saat ini
pergerakannya bagaimana?, Bagaimana posisi ideologi
Pancasila di tengah rongrongan seperti ini?
4.
Topik pribadi : Siapa tokoh yang difigurkan
dan kenapa?, Pengalaman kegagalan terbesar dan bagaimana
menghadapinya ?, dan
kemudian menjadi sesi termehek-mehek poinnya. Tidak ada
pertanyaan terstandar, semuanya based on profil CA. Kalo kebetulan pertanyaan
antar CA ada beberapa kesamaan, ya kemungkinan karena 'profil' nya juga ada
sedikit kesamaan. Hehe.
Q5 : Apakah terdapat pertanyaan wawancara yang menyinggung tentang SWOT
(Strengh, Weakness, Opportunity and Threat) atau semacamnya, Kak?
Pastinya reviewer
tidak akan meminta kamu menyebutkan apa SWOT kamu. Hehehe... Namun semua pertanyaan reviewer
akan mengeksploitasi weakness dan threat diri
kita. Maka carilah strength
& opportunity yang bisa digunakan untuk mengatasinya.
Q6 : Adakah jenis-jenis pertanyaan yang menggali dalam
trauma/kesedihan/penyesalan atau sisi personal kita lainnya? Jika ada,
bagaimana pengalaman mas andri menjawabnya ?
Pertanyaan tentang
‘apa pengalaman kegagalan terbesar dalam hidup saya, dan bagaimana saya
mengatasinya”, saya merasa kegagalan terbesar dalam hidup adalah tidak bisa memberikan
hidup bahagia pada ayah saya hingga saat beliau meninggal dunia, ini dieksploitasi oleh reviewer,
kenapa ayah sebegitu spesial bagi saya, apa perlakuan istimewa ayah kepada
saya, dan sebagainya dan sebagainya.
Sejak awal diberi
pertanyaan ini saya sudah minta waktu untuk bernafas, untuk mengelola emosi.
Tapi saat ditanya-tanya lebih dalam, emosi tidak terbendung, jadinya saya menjawab sambil
tersedu-sedu.
Cara saya menjawab
pertanyaan ini adalah menjadi jujur apa adanya. Saya tidak bisa bercerita/mengenang ayah saya
tanpa saya merasa sedih. Tangisan itu adalah reaksi jujur saya apa adanya,
seberapa dalam rasa bersalah saya kepada ayah saya.
Kegagalan lain dalam
kuliah atau pekerjaan masih mudah diatasi karena kita selalu punya kesempatan
kedua. Tapi kegagalan saya tersebut tidak
ada kesempatan keduanya. Kecuali
kita aktor/aktris yang sangat berbakat, saya merasa kita akan sulit
memanipulasi reviewer terkait hal ini. Tangisan yang dipaksakan akan terlihat
jelas, demikian pula menahan-nahan emosi yang dipaksakan juga akan terlihat
jelas.
Saran saya: Jujurlah
apa adanya, sekalipun itu bersifat private.
The reviewers will never misuse your story, and I hope you guys
don't misuse mine too.
Q7: Bagaimanakah cara meyakinkan interviewer bahwa kita akan diterima di
universitas tujuan? Perlukah kita melakukan komunikasi dengan pihak universitas atau profesor di universitas tujuan sebagai salah satu instrumen untuk
meyakinkan? Atau ada cara lainnya?
We can never guarantee
our spot in any university, can we? And that’s not what they look into us in
the interview. Yang
mereka cari adalah kita memenuhi kualifikasi atau tidak. In general, kalau kita sudah lolos sampai tahap interview
seharusnya kita ga ada masalah kecerdasan untuk diterima di kampus tujuan,
hehehe.
Mereka akan tahu kita
qualified atau tidak dari beberapa hal: apakah kita memenuhi syarat-syarat universitasnyanya (toefl, tpa, gre, dsj, so we better get deep research on our
prospective uni & prodi), dan apakah kita ada real attempt kesana (kontak
dengan bagian admisi, alumni, profesor, admission book, dsb).
Jadi penjelasan
tentang syarat-syarat tersebut, serta upaya kita kontak sana sini, cari info
sedetail2nya dan bagaimana persiapan kita menghadapinya, menunjukkan
kesungguhan kita tersebut. Oiya, untuk doktoral, komunikasi dengan pihak kampus
tujuan ini bersifat “crucial”, sekalipun belum mendapat jawaban dari pihak sana, baik admisi maupun
profesornya, sekurang2nya sebutkan bahwa kita sudah mengkontak dan menghubungi
terkait aplikasi tsb. Jangan sampai kita belum ada pergerakan sama sekali.
Q8 : Kabarnya mas andri lolos sebagai awardee program doktoral LN ini
adalah usaha kedua setelah sblmnya ada beberapa evaluasi di wawancara yg
pertama, bisa tolong dishare faktor-faktor yang membuat lolos dan tidak
lolosnya Mas ?
Saya tidak lolos 2017
di tahap substansi karena tidak well-prepared. Selain karena ayah baru saja meninggal, baru mengajar dapat 16 SKS,
jadi tidak betul-betul mendalami apa yang saya inginkan dari beasiswa ini,
kenapa saya memilih kampus tujuan, serta tidak betul-betul mengevaluasi apakah
saya qualified untuk studi S3.
Faktor lolos di 2018
bagi saya sendiri paling kunci adalah
sufficient preparation. Saya membuat list tentang apa hal-hal yang kemungkinan ditanyakan ke
saya. Kalau ga salah saat itu ada sampai 50-an poin yang saya rasa menjadi
kelemahan saya dan hal-hal lain yang berpotensi ditanyakan terkait dengan
profil, CV, rencana kontribusi,
pilihan kampus, dsb. Kemudian saya buat jawabannya, saya pikir ulang, saya
revisi, begitu seterusnya sampai hari H.
Baca Selanjutnya disini..... SHARING PERSIAPAN WAWANCARA #2 dan SHARING PERSIAPAN WAWANCARA #3
*Disclaimer*
“Semua jawaban ini adalah apa yang bisa diambil/dipetik dari apa yang dialami dan ya diamati oleh narasumber. Setiap awardee sangat mungkin memiliki pandangan, prinsip dan cara
yang berbeda2, dipengaruhi variabel dan konteks yang complicated sehingga it might work or not at some points”
0 comments
It's nice to see you !