Mutu film Indonesia saat ini mengalami peningkatan karna
banyak film Indonesia sekarang yang mengangkat topik-topik kreatif dan bisa
dijadikan sumber inspirasi. Topik-topik seperti persahabatan,semangat dan
kekuatan cinta menjadi daya tarik sendiri bagi film tersebut.
Jika dibandingkan dengan masa lalu kualitas film di Indonesai sangat memprihatinkan, dampak dari hal tersebut dikarenakan kebanyakan dari film Indonesia mengangkat topik-topik horor. Hal itu berdampak pada rendahnya kualitas film Indonesia dibanding dengan film luar. Sehinga film luar lebih diminati oleh penonton.
Kita sadari Indonesia adalah tempat ekspansi budaya dari negara lain terutama melalui film. Ada Anime yang menyerbu anak-anak tiap hari minggu, kemudian adanya Girl Band dan Boyband Korea di pentas musik Indonesia, dan malam hari waktunya televisi menanyangkan Box Office film-film Hollywood. Dan semua itu ditempurkan dengan kualitas perfilman nasional. Siapa yang akan menyangka anak-anak lebih mengenal Naruto, Upin dan Ipin daripada tokoh pewayangan. Budaya negara lain tumbuh subur di tempat kelahiran kita, namun kita terkadang tidak mengenal budaya sendiri dan hanya marah ketika budaya negeri di klaim negara lain. Film merupakan media yang efektif dalam melakukan ekspansi budaya, terlebih pada anak-anak dan remaja.
Pada tanggal 17 Januari 2014 Badan Perfilman Indonesia (BPI) secara resmi telah terbentuk. Terbentuknya BPI tersebut dilakukan dalam kegiatan Musyawarah Besar (Mubes) BPI yang berlangsung dari tanggal 15 sampai dengan 17 Januari 2014 di Jakarta. BPI adalah badan yang bertugas untuk meningkatkan mutu perfilman Indonesia. Perlu diketahui bahwa pembentukan BPI ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, yang baru terealisasi di awal tahun 2014.
Meskipun telah dibuat lembaga yang memilki tugas untuk lebih meningkatkan mutu film Indonesia. Penulis memperkirakan hal ini belum membuahkan hasil maksimal. Karena anggota yang terhimpun dalam BPI hanyalah para pelaku di industri perfilman Indonesia. Bagaimanapun juga para konsumen turut memiliki peran. Meskipun film-film yang dirilis memiliki mutu yang tinggi jikalau minat dan dukungan masyarakat Indonesia terhadap perfilman Indonesia masih sangat kurang yang disebabkan oleh keawaman masyarakat terhadap dunia perfilman, maka hal tersebut akan sia-sia. Penulis menawarkan gagasan solusi berupa penambahan kurikulum berupa Kurikulum AFREFISIA (Apresiasi Film Indonesia) di Sekolah Umum (SD-SMA) sebagai Sarana Peningkatan Apresiasi Film Indonesia di Masyarakat dan sebagai Sarana Ekspansi Kebudayaan Indonesia. Dengan penerapan mata pelajaran apresiasi film Indonesia ini di sekolah-sekolah umum, harapannya anak-anak sekolah terutama anak-anak masa pembelajaran di SD sampai SMA, dapat menelaah dan tidak menelan mentah-mentah sebuah film serta dapat mengapresiasi film-film nasional guna mendukung untuk meningkatkan kualitas film nasional sehingga mampu bersaing di dunia internasional dan membawa budaya bangsa. Film merupakan media yang efektif dalam melakukan ekspansi budaya
Jika dibandingkan dengan masa lalu kualitas film di Indonesai sangat memprihatinkan, dampak dari hal tersebut dikarenakan kebanyakan dari film Indonesia mengangkat topik-topik horor. Hal itu berdampak pada rendahnya kualitas film Indonesia dibanding dengan film luar. Sehinga film luar lebih diminati oleh penonton.
Kita sadari Indonesia adalah tempat ekspansi budaya dari negara lain terutama melalui film. Ada Anime yang menyerbu anak-anak tiap hari minggu, kemudian adanya Girl Band dan Boyband Korea di pentas musik Indonesia, dan malam hari waktunya televisi menanyangkan Box Office film-film Hollywood. Dan semua itu ditempurkan dengan kualitas perfilman nasional. Siapa yang akan menyangka anak-anak lebih mengenal Naruto, Upin dan Ipin daripada tokoh pewayangan. Budaya negara lain tumbuh subur di tempat kelahiran kita, namun kita terkadang tidak mengenal budaya sendiri dan hanya marah ketika budaya negeri di klaim negara lain. Film merupakan media yang efektif dalam melakukan ekspansi budaya, terlebih pada anak-anak dan remaja.
Pada tanggal 17 Januari 2014 Badan Perfilman Indonesia (BPI) secara resmi telah terbentuk. Terbentuknya BPI tersebut dilakukan dalam kegiatan Musyawarah Besar (Mubes) BPI yang berlangsung dari tanggal 15 sampai dengan 17 Januari 2014 di Jakarta. BPI adalah badan yang bertugas untuk meningkatkan mutu perfilman Indonesia. Perlu diketahui bahwa pembentukan BPI ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, yang baru terealisasi di awal tahun 2014.
Meskipun telah dibuat lembaga yang memilki tugas untuk lebih meningkatkan mutu film Indonesia. Penulis memperkirakan hal ini belum membuahkan hasil maksimal. Karena anggota yang terhimpun dalam BPI hanyalah para pelaku di industri perfilman Indonesia. Bagaimanapun juga para konsumen turut memiliki peran. Meskipun film-film yang dirilis memiliki mutu yang tinggi jikalau minat dan dukungan masyarakat Indonesia terhadap perfilman Indonesia masih sangat kurang yang disebabkan oleh keawaman masyarakat terhadap dunia perfilman, maka hal tersebut akan sia-sia. Penulis menawarkan gagasan solusi berupa penambahan kurikulum berupa Kurikulum AFREFISIA (Apresiasi Film Indonesia) di Sekolah Umum (SD-SMA) sebagai Sarana Peningkatan Apresiasi Film Indonesia di Masyarakat dan sebagai Sarana Ekspansi Kebudayaan Indonesia. Dengan penerapan mata pelajaran apresiasi film Indonesia ini di sekolah-sekolah umum, harapannya anak-anak sekolah terutama anak-anak masa pembelajaran di SD sampai SMA, dapat menelaah dan tidak menelan mentah-mentah sebuah film serta dapat mengapresiasi film-film nasional guna mendukung untuk meningkatkan kualitas film nasional sehingga mampu bersaing di dunia internasional dan membawa budaya bangsa. Film merupakan media yang efektif dalam melakukan ekspansi budaya