Mataku terbuka, ku tengok ke arah kiri dan kananku. Tak ku dapati pemandangan apapun selain ku dapati Kartina yang masih menikmati tidurnya, itupun ku tangkap dalam pandangan yang masih samar-samar karena masih gelap. Iya hari itu adalah hari Rabu 10 September 2016 dan waktu masih menunjukkan jam 5 subuh. Aku hampir lupa bahwa saat ini kami tidak di rumah tapi berada di sebuah dusun pesisir yang jaraknya hampir 320 km dari kota Palu. Kami berempat terlampau asyik menikmati malam kemarin setelah berbagai kejadian yang menyambut malam pertama kedatangan kami. Tak lama berselang, Tina, Lela dan Reret turut terbangun.
Aah, aku baru benar-benar yakin sedang tidak di rumah saat keluar dari pondok peristirahatan. Ini bukan mimpi. Spontan, angin pantai yang berhembus menusuk tanpa malu-malu menyapa dengan dinginnya yang menusuk hingga ke tulang ditambah suara deburan ombak yang memecah di sepanjang bibir pantai. Cuaca begitu dingin maklum semalam hujan turun begitu deras. Rasanya masih ingin berebah setelah lelah dalam perjalanan dan aktivitas panjang seharian kemarin. Tapi tidak. Ada amanah dihadapan yang harus ditunaikan. Belum lagi harus bebersih di satu-satunya sumber air disana. Kami harus memanfaatkan sebaik-baik waktu. Dulu mendahului dengan warga yang mengantri untuk mengisi jerigen dengan air untuk dibawa pulang ke rumah.
Menikmati setiap detik waktu yang dihabiskan disana adalah keharusan.
Sejatinya menikmati setiap perjalanan mampu membuat hidup sedikit lebih
bahagia. Syukurlah sambutan warga yang cukup baik membuat kami tidak
merasa begitu terbebani. Maklumlah kami adalah mini tim yang tak sama
seperti peserta lainnya yang mendapat dan tinggal bersama keluarga
angkat. Maka kami terus menyatu dengan alam selama di lokasi.
Tenda peristirahatan berdiri rapi di
bawah pohon asam. Tempat baru ini sedikit lebih teduh dibanding di awal
terlebih saat siang hari. Tepat di bawah pohon asam. Yaps, dibawah
pohon asam inilah aktivitas kami jalankan mulai dari aktivitas
masak-memasak, makan dan menghabiskan malam. Rasanya seperti memiliki
keluarga angkat bertuankan pohon asam.
Kak Arif, Kartina dan Lela sedang beraktivitas di sekitar tenda dan pohon asam |
***
Rabu siang. Ketika itu kami sudah siap dengan menu makan siang. Ikan, kepiting dan mie adalah menu utama dari koki ketjeh Mama Lela dan Kak Cecep. Hehe. Wah wah ternyata kami kedatangan tamu kala itu. Bukan dan tak lain adalah Pak Guru yang sudah tak asing lagi karena beliau sudah menyambut kedatangan kami sejak kemarin. Pak Guru (lupa siapa namanya) terlihat begitu antusias. Kami mengajak beliau untuk bergabung makan siang tapi beliau menolak. Akhirnya beliau hanya menyaksikan kami mengisi perut kosong kami sembari berkisah tentang kondisi yang terjadi di dusun terpencil itu.
Tak terduga. Pak Guru menceritakan tentang pohon asam yang dibawahnya kami bermukim dengan gayanya yang khas, yang hampir semua orang sudah tahu apa yang akan dikatakannya diawal pembicacaannya. Iyaps, beliau selalu mengatakan
"Minta maaf ini lee...."
Pak Guru selalu saja meminta maaf lebih dulu sebelum berbicara. Ketika itu beliau menceritakan dan menyampaikan bahwa sesungguhnya tak baik jika kami bertendakan di bawah pohon asam karena beberapa alasan. Diantaranya untuk alasan keamanan.
"...Minta maaf ini le. Sebenarnya disini ini kurang mendukung (baca : angker) apalagi kamu-kamu ini orang baru harus hati-hati. Di sekitar sini ada kuburan..., sebaiknya kalian pindah saja dari sini dari pada nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Juga kalau bisa jangan pake-pake baju merah.." , begitu kata Pak Guru sambil memperkuat argumennya dengan menunjuk ke arah tanaman jarak yang ada dihadapan kami yang katanya disitulah letak kuburannya.
Mimik wajah Pak Guru nampak begitu serius. Namun sayang, tak ada satupun diantara kami yang memiliki perasaan takut. Bahkan ada beberapa yang hanya tersenyum-senyum mendengar penjelasan dari Pak Guru termasuk aku sendiri. Tapi tetap kami sembunyikan ragam ekspresi itu, jangan sampai Pak Guru tersinggung, bagaimanapun juga kami harus menghargai dan menghormati yang lebih tua. Tetiba Kak Cecep dan Kak Arif nimbrung.
"Kami tidak takut Pak. Kami sudah biasa dengan keadaan dan hal-hal begini. Lagipula ini bukan kali pertama bagi kami", begitu katanya.
Akhirnya Pak Guru menyudahi perbincangan siang itu. Beliau hanya berpesan pada kami agar berhati-hati. Ha ah, ini merupakan salah satu bukti wujud sambutan hangat warga atas kedatangan kami. Mereka ingin kami tetap dalam keadaan aman.
***
Temanku memandangiku beberapa saat sebelum berkomentar. Ia sedikit kaget dengan kostumku hari itu. Kostumku yang serba merah bagiku wajar-wajar saja, selain karena aku penyuka warna merah juga karena persiapan pakaian yang ku bawa kebanyakan warna merah. Aku yakin semua akan baik-baik saja, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ternyata bukan hanya temanku tapi ada seorang warga disana yang menegur bahkan menyuruh agar berganti pakaian menjadi warna yang lain. Tapi tak mempengaruhiku, tetap saja percaya diri dengan merah kala itu.
Hari berlalu pun hari kepulangan kami sudah di depan mata. Alhamdulillah selama bermukim di bawah pohon asam tak ada apa-apa yang terjadi dengan kami. Mendekati hari kepulangan barulah kami mendapat kabar bahwa sesungguhnya tak ada kuburan di sekitar pohon asam akan tetapi letaknya masih agak jauh. Ternyata Pohon Asam tak seperti kata Pak Guru. Kami hanya tersenyum dan menahan tawa dalam hati, seperti ada hal yang menggelitik. Hingga akhirnya Pak Guru memiliki kenangan sendiri, setiap ingat Pak Guru pasti ingat kata "Minta maaf ini le". Penghuni pohon asam itu adalah aku dan mereka, Lela, Tina, Reret, Mahfudz, Kak Tofan, Kak Cecep, Kak Rasul, Kak Wandi dan Kak Arif. Jika kawan-kawan peserta agenda Homestay GYF #3 Rumah Bahari Gemilang yang lain sibuk memberikan foto berbingkai yang bertuliskan "Terima Kasih Ibu dan Bapak atas 3 hari yang Berharga", maka kami hanya bisa mengatakan "Terima Kasih Pohon Asam atas 3 Hari yang Berharga". Kami harus pulang.
***
Mataku kembali terbuka, ku tengok ke arah kiri dan kananku. Tak ku dapati
pemandangan apapun selain ku dapati tumpukan kertas yang tak lain adalah tugas akhirku. Aku hampir lupa bahwa saat ini aku sudah di rumah. Kini sudah berbalik kini aku berada di kota Palu. Tiba-tiba ingatanku melayang menuju sebuah dusun pesisir yang jaraknya hampir
320 km dari kota Palu itu. Aku tersenyum, banyak cerita yang telah terukir.
***
Pals, hal-hal gaib itu sejatinya ada dan kita harus percaya bahwa benar-benar ada. Namun, harus waspada dalam menyikapi hal-hal seperti itu. Hal-hal seperti itu bukan lantas membuat kita paranoid. Kita harusnya takut pada Sang Khalik. Jangan sampai terjebak dalam perbuatan syirik.