Bahkan
hingga hari ini. Saya
masih saja masih pada persepsi yang sama. Persepsi bahwa fenomena
bencana alam, yang melanda dan meluluhlantakkan kota Palu itu,
tidak lain hanyalah sebuah mimpi buruk saya di hari jum'at tanggal 28
September 2018, bulan
kemarin. Masih sulit dipercaya rasanya, meski rupanya,2 pekan sudah
berlalu semenjak
kejadian itu. Mungkin, karena saat ini posisiku yang tak disana, cukup
jauh.
Tak
tanggung air mata ini mengalir dengan sendirinya ketika sang imaji membatin
pada sang diri “Itu bukan mimpi !”. Itu benar karena faktanya memang begitu. Tending topik social
media pun mendadak membahas tentang hal tersebut. Terlalu sedih untuk melihat
dan membayangkannya, sang kota teluk, yang sudah tak mempesona seperti dulu. Ditambah lagi,
telpon dari seorang sahabat yang ketika berada di Palu, kami selalu
menghabiskan waktu di beberapa tempat disana, entah karena memang ada hal yang
harus kami diskusikan atau hanya sekedar menikmati pemandangan pantai yang
manis di kota teluk tersebut. “... saya hanya tetiba kepikiran dengan
tante dange langganannya kita, apakah dia selamat?”, itulah
perkataannya sebelum akhirnya yang terdengar hanya suara tangisnya. Saya terdiam
ditemani suara tangisnya via telpon. Saya hanya menatap langit-langit kamar agar
air mata ini tak tumpah juga. Saya hanya sempat mengatakan sepatah kalimat
sebelum perbincangan kami akhiri. “Semoga dia selamat”,
hanya itu kata
saya. Dikisaran waktu tersebut kami dihantui kekhawatiran akan
orang-orang baik disana. Was-was menanti kabar mereka, termasuk
kekhawatiran akan si tante dange yang baik itu. Pasalnya lokasi tempat
dia berjualan adalah daerah terparah yang diamuk tsunami. Kesedihan
terus bertambah saja.
Setiap orang pasti punya
tempat bersejarah dalam hidupnya. Begitupun saya. Bagi saya, Palu adalah
bagiannya.
Iya,
Palu.
Palu yang tepat tanggal 28 September ditimpa duka yang sangat menyayat
hati itu. Serangkaian
fenomena bencana alam yang akhirnya menghancurkannya dalam beberapa jam.
Gempa
berskala 7,4 SR mengguncangnya, pun juga terus disusul dengan ratusan
gempa-gempa kecil dengan skala yang lebih kecil, tsunami setinggi 1,5-2
meter
yang melindas, fenomena liquifaksi tanah yang menelan beberapa titik
padat penduduk dan mengubur sejumlah pemukiman, rumah-rumah, barang
beserta penghuninya. Gedung-gedung runtuh, pusat-pusat pemerintahan
lumpuh.
Bahkan, ini berhasil merebut harapan hidup orang-orang yang Allah telah
selamatkan
dari amukan alam tersebut mereka ingin mati saja, kadang. Aah, Palu
benar-benar berduka saat ini.
Kota Palu memang boleh
hancur namun itu tidak turut menghancur, menenggelamkan dan menyapu segala
kenangan dan jasa kota Palu atas berbagai perubahan dalam hidup saya. Terlalu
banyak kisah yang sudah terlalui disana. Terima kasih Palu.
Terima kasih Palu...
Saya
ingat benar bagaimana cara orang-orang disana
mengajarkan saya tentang berproses untuk menjadi orang yang lebih baik
lagi, lebih baik dari diri sendiri sebelumnya, lebih berarti bagi orang
lain, belajar
lebih taat terlebih pada perintah sang Rab, dan berbagai
perubahan-perubahan positif lainnya.
Saya ingat betul diawal
kedatangan saya ke tanah rantau ini. Masih dengan setelan jins
yang cukup ket*t dan kerudung yang masih menerawang, serta
masih berpunuk meski sebenarnya, saya sudah memiliki pemahaman yang baik
atas kekeliruan-kekeliruan tersebut berkat kajian-kajian rutin yang
biasa saya ikuti semenjak di SMA. Saya kembali belajar, menguat dan
berproses bersama orang-orang di
dalamnya akan bagaimana seharusnya perempuan, seorang
muslimah, dalam islam.
Saya
ingat benar akan sebuah kejadian yang benar-benar membuat saya "malu" dan sangat-sangat tertampar, yang terjadi di kota
yang kini sedang bisu itu. Ketika itu saya mendapat teguran langsung dari
seorang kawan yang saya tahu dia adalah non muslim. “Kamu kan islam. Kok kamu gak pake kerudung? Emang gak apa-apa yak
kalau lepas2 kerudung”. Hhmmm... Nyesek sekali dikatain seperti itu.
Namun,
hikmahnya luar biasa, hingga akhirnya saya semakin berhati-hati dan
senantiasa menjaga "aurat" kapanpun dimanapun dan disetiap napas yang
masih terus berhembus ini.
Pun saya menemukan banyak
lingkaran kebaikan disini, yang didalamnya berisi orang-orang yang tidak hanya
ingin men-sholeh/sholehahkan dirinya tapi juga orang lain. Juga, saya menemukan banyak relawan yang rela
menjadi “Reminder” bagi diri, dalam
setiap aktivitas, mulai dari hal-hal tersepele menurut banyak orang, seperti
makan dan minum harus duduk dan menggunakan tangan kanan hingga interaksi
bersama lawan jenis dan perjuangan untuk saling menjaga dalam napas keistiqamahan.
Sebagian besar bermula dari sini, Palu. Sungguh, Allah menurunkan hidayah-Nya di kota ini. Yaa Rabb, bantu kami agar senantiasa istiqomah dalam setiap keadaan.
Sebagian besar bermula dari sini, Palu. Sungguh, Allah menurunkan hidayah-Nya di kota ini. Yaa Rabb, bantu kami agar senantiasa istiqomah dalam setiap keadaan.
Terima kasih Palu.
Saya ingat benar bagaimana Allah mengatur skenario
hidup untuk mempertemukan saya dengan orang-orang hebat yang tidak hanya
semangat dalam revolusi diri untuk duniawi saja tapi juga untuk kehidupan
akhirat. Skenario yang begitu manis. Bermula dari pertemuan dalam forum-forum
yang diadakan pengelola beasiswa di Universitas Tadulako. Disana, saya
dipertemukan dengan mereka yang selalu punya pikiran yang anti mainstream dalam
menggagas berbagai ide dan karya-karya yang luar biasa. Hingga akhirnya,
kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang hebat lainnya semakin terbuka
lebar. Dari sana, kesempatan belajar dan berkembang saya semakin besar. Belajar menjadi orang yang lebih berani, belajar
meredam ego, belajar bermanfaat bagi orang lain dan terus belajar berproses
menjadi orang yang lebih baik dan terus bermanfaat. Bahkan hingga saat ini.
Terima kasih Palu.
Saya ingat benar bagaimana Allah memberikan bejibun
kemudahan untuk saya menjalani hidup di rantau bernama “Palu” itu. Saya
dipertemukan dengan sahabat-sahabat yang darinya saya mendapatkan kehangatan
keluarga di rantau, saat saya jauh dari keluarga besar yang ada di Tolitoli.
Saat benar-benar rindu orang tua, maka kehadiran orang tua sahabat-sahabat saya
di rantau ini cukup menjadi peredam rindu. Bisa saya bilang bahwa Palu adalah kota kedua
dimana saya merasa memiliki banyak keluarga. Mereka, sahabat-sahabat baik saya,
saya temukan di Palu.
Terima kasih Palu.
Saya asal aslinya
bukanlah dari Palu. Keluarga besar saya ada di desa Pinjan, Kec. Tolitoli
Utara, Kab. Tolitoli, Prop. Sulawesi Tengah. Namun, Palu sudah mendapatkan salah
satu bilik penting dalam hati saya. Rasanya terlalu berkesan untuk saya abaikan
begitu saja. Olehnya, saya akan menjawab dengan lantang “Saya dari Palu”
pertanyaan orang yang bertanya tentang daerah
asal saya ketika di rantau, di luar Sulawesi Tengah, ketika disaat yang
sama saya menemukan adanya orang yang berusaha untuk menutup identitas
dirinya sebagai penduduk asli Palu.
Akhirnya, berikut adalah sekelumit harapan saya untuk Palu, sang Kota tercinta.
“Jangan berlarut dalam duka sementara ini. Redakan tangismu ! Optimislah ! Ingat, Allah bersamamu. Pun, kita tak perlu banyak berdalih atas segala pemberitaan miring pasca bencana yang sudah menghancurkanmu. Orang-orang terlalu kaku hanya memandang dari satu sisi. Mari belajar menanggapi semua konten pemberitaan secara bijak. Asal sudah tahu “penyebab” maka, saat ini, fokuslah pada solusi, rumuskan solusi. Palu tidak bergantung pada komentar orang-orang tapi lebih pada introspeksi yang dilakukan. Cukup kota kita yang hancur tapi tidak mental kita. Saat ini tugas terbesar kita adalah untuk bangkit. Sudah waktunya untuk bangkit ! Mari bergandengan tangan dan saling menguatkan”.
PALU BANGKIT !
0 comments
It's nice to see you !