Inspirasi dari sebuah pengalaman kecil dalam sebuah
komunitas bahari di salah satu daerah pesisir bagian Timur Indonesia yang
menamakan diri sebagai komunitas Rumah Bahari Gemilang atau lebih
dikenal RUBALANG. Sebuah komunitas yang masih belia yang resmi berdiri
pada 12 April 2014 dengan visi Indonesia Cerdas Indonesia Gemilang. Dari sini
saya memperoleh sebuah pelajaran besar dari sebuah guru kehidupan yang
sederhana namun mampu memberi efek luar biasa dalam kehidupan saya.
Saya adalah seorang mahasiswa jurusan kimia murni di
Universitas Tadulako Palu. Mayoritas mahasiswa kimia di tempat saya kuliah
memiliki rutinitas yaitu Praktikum-Laporan sehingga hampir tak punya waktu dan
tak mau untuk melirik dan menengok persoalan yang ada disekelilingnya walau hanya
sejenak. Tak jauh berbeda dengan saya. Saya juga masih memiliki pemikiran
seperti itu. Namun, saya masih membuka diri untuk hal-hal seperti itu meskipun
sedikit terengah-engah karena belum mendapat penguatan yang lebih kuat (baca:
masih labil).
Berawal dari sebuah ajakan salah seorang kakak untuk
bergabung dalam komunitas RUBALANG tanpa pikir panjang saya langsung menerima
tawan tersebut. Awalnya niat saya hanya
sekedar ikut-ikutan saja ditambah lagi ketika itu saya belum paham dimana,
kenapa, mengapa, bagaimana, kapan dan apa sebenarnya yang dimaksud dengan
RUBALANG itu. Tapi itu bukan menjadi alasan yang berarti bagi saya untuk tak
mau bergabung. Walau niat awal sekedar ikut-ikutan tetapi saya terus berproses mengikuti
semua agenda yang diadakan.
Gerakan 1000 Buku Pesisir menjadi program pertama RUBALANG yang tujuannya
untuk mengumpulkan donasi berupa buku dan perlengkapan sekolah untuk menunjang
kelancaran pendidikan di Lokasi Project. Kegiatan ini berlangsung selam 2 bulan
dan berhasil mencapai target. Pasca kegiatan ini perlahan saya mulai mengerti dan
paham akan Rubalang karena saya cukup dilibatkan dalam program ini. Saya jadi
teringat akan sebuah pepatah yang menyatakan “kamu tidak akan pernah tahu jika kamu tidak pernah terjun di dalamnya”
seperti itulah yang saya rasakan. Sudah suatu ketentuan, ketika ada yang
pertama pasti ada yang kedua dan seterusnya. Setelah Gerakan 1000 buku, program
selanjutnya yaitu Rubalang Camp. Program yang ini menjadi program yang paling
berkesan bagi saya sekaligus mampu membuat saya bisa memaknai arti dari sebuah
komunitas RUBALANG. Momen ini akan
menjadi bagian sejarah yang akan selalu terekam dalam memori ingatan saya. Inti
dari kegiatan RUBALANG CAMP ini yaitu untuk membentuk ikatan emosional dengan
masyarakat setempat dan bisa turut merasakan kehidupan mereka sehingga kita
lebih mampu memaknai dan mensyukuri nikmat yang kita enyam selama ini atau
lebih dikenal Home Stay. Home stay dilakukan selam 3 hari yaitu hari
Jum’at-Sabtu tepatnya 11-13 April 2014.
Senang, takut, gugup, khawatir
dan malu demikianlah perasaan campur aduk yang saya rasakan menjelang Opening Ceremony. Saya tak hentinya membayangkan
kemungkinan-kemungkinan yang mungkin muncul. Bagaimana jadinya nanti jika
berada di rumah orang tua angkat saya?, saya
harus berbuat apa ditambah lagi saya anaknya sedikit pemalu terlebih jika
bertemu dengan bertemu dengan orang-orang baru yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Bagaimana orang tua
yang akan saya temui nanti? Bagaimana
mungkin hal itu bisa terjadi?.. Terlalu banyak prasangka yang menari-nari dalam pikiran saya ada
prasangka poitif dan ada juga prasangka negatif. Pembukaan acara dimulai
sekitar pukul 19.00 WITA. Kekhawatiran saya bertambah ketika acara Opening Ceremony, saya melihat seorang
ibu yang berperawakan pendek, tubuhnya berisi dengan potongan rambut pendek layaknya Polwan yang di pirang dengan
warna keemasan. Dalam kerisauan hati saya bergumam “Mungkinkah itu orang yang
akan menjadi Ibu angkat saya nanti?.
Saya Sempat menceritakan kecemasan dan kekhawatiran akan
kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam pikiran saya kepada salah seorang teman
dekat saya yang juga tergabung dalam Team Rubalang. Ia hanya tersenyum dan
berkata “Jangan melihat sesuatu dari luarnya saja. Bisa jadi Ia lebih baik dari
kita”. Dan ternyata memang benar apa yang dikatakan oleh teman saya tersebut. Setelah
pembagian orang tua angkat kami sempat berbincang-bincang dengan Ibu tersebut.
Alhasil Ibu tersebut sangat baik dan ramah. Aku malu pada diriku sendiri atas
pikiranku yang sedangkal itu.
Satu per satu anggota dari Team
Rubalang sudah bertemu dengan masing-masing orang tua angkat mereka. Saya
semakin tegang saja, siapakah gerangan yang akan menjadi orang tua angkat saya nantinya.
Pada akhirnya saya sedikit kecewa karena ketika disebutkan bahwa orang yang
akan menjadi orang tua angkat saya tidak berada di lokasi pembukaan kala itu.
Akan tetapi kekecewaan itu tidak berlangsung lama karena setelah pembukaan
tersebut selesai Ibu Hasnah yang merupakan ketua PKH di desa Lero dan Beliaulah
yang senantiasa membantu dan mendampingi kami dalam persiapan agenda RUBALANG
ini. Beliau bersedia mengantarkan saya ke rumah orang tua angkat saya.
Inilah awal pertemuan kami. Pertemuan seorang anak rantau
dengan keluarga baru. Ibu yang kuanggap layaknya
Ibu kandung sendiri, seorang Ayah yang kini kuanggap seperti Ayah kandung
sendiri dan dua orang Adik yang manis
yang menganggap saya layaknya kakak kandung baginya. Semua menerima kehadiran
saya dengan suka cita disebuah pondok
yang sederhana dengan pola kehidupan yang penuh kesederhanaan dan kerendahan
hati pula. Sekejab segala pemikiran negatif dalam pikiranku langsung lenyap.
Ibu Nurhayati dan Pak Suyitno dan adik bernama Fadhillah dan Farhan itulah
keluarga baruku yang kutemui melalui perantara RUBALANG CAMP.
Hari pertama aku menginjakkan kaki di Istana baruku
yang aku akan berada di dalamnya kurang lebih dua hari, dari kejauhan aku telah
melihat kedua orang tua angkatku tengah menanti kedatanganku di depan pintu
rumah dengan wajah yang berseri-seri dan bersahabat serta penuh ketulusan.
Setibanya dihadapan mereka aku langsung mencium kedua tangan mereka seperti
yang kulakukan pada kedua orang tua kandungku. “Selamat datang di rumah barumu nak! Semoga betah yah tinggal disini. Kami mohon maaf kalau keadannya
seperti ini, dan semoga kamu betah berada disini, jangan pernah sungkan untuk
meminta bantuan, anggap saja kami ini adalah orang tua kandungmu” itulah
kata-kata pertama Ibu Nurhayati pertama kali menyambut kedatangan saya. Pak
Suyitno juga mengatakan bahwa “nanti jangan malu-malu dirumah ini, anggap saja
rumah sendiri” kata pak suyitno sambil tersenyum Ramah. Setelah itu aku
langsung diajak masuk kedalam rumah dan aku langsung disuguhkan dengan makan
malam dengan menu “rono bakar dan tahu goreng”
meskipun menunya sederhana tapi rasanya uwenakk, sampai-sampai aku makannya
sangat lahap tak seperti biasanya. “Ibu” begitu aku memanggil ibu angkatku,
hanya tersenyum kecil melihat kelakuanku yang seperti itu. Kala itu aku merasa
berada di rumahku yang berada di desa Pinjan.
Setelah saya disuguhi makan malam dengan menu yang
sederhan tapi lezat. Sebelum tidur saya dan Ibu berbincang-bincang terlebih
dahulu. Saya sempat menanyakan seputar keluarga baru saya. Akan tetapi Ayah
tidak ikut berbincang-bincang bersama kami. Ayah telah beristirahat terlebih
dahulu karena kelelahan setelah seharian melaut. Begitupun dengan Farhan yang
turut membantu Ayah melaut. Berbeda dengan Fadillah, Ia tengah asyik menonton
acara TV “Indonesian Idol”. Ia nampak
sangat antusias mengikuti acara tersebut. Sesekali Ia bertanya-tanya kepadaku
akan Indonesian Idol.Saya manggut-manggut saja seolah-olah aku paham. Padahal
sesungguhnya aku tak tahu seputar Indonesian Idol tersebut. Saya hanya berusaha seolah-olah paham untuk
membuatnya senang dan tertawa bahagia.
Ayah bekerja sebagai seorang nelayan yang setiap
harinya harus turun kelaut untuk menangkap ikan. Hasil tangkapan yang diperoleh
akan di jual ke pengepul yang biasa selalu menunggu di tepian pantai atau biasa
juga dijual ke warga-warga di sekitar desa Lero. Hasil dari penjualan inilah
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Sedangkan Ibu hanya bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga biasa yang
senantiasa mengurus kebutuhan keluarganya. Apabila tengah musim “rono” biasanya Ibu membuat “rono dange” dan dijual ke pelosok desa.
Rono merupakan salah satu jenis ikan
yang ukurannya sangat kecil yang banyak hidup di perairan di daerah pesisir
desa Lero, dan ada tergantung musim biasanya sebulan tiga kali. Jika tidak
sedang musim “rono” maka Ibu dirumah
saja. Ibu dan Ayah memiliki enam orang anak. Akan tetapi anak yang kini tinggal
bersama di rumah ada dua, dua anak yang lain kini berada di perantauan tepatnya
di daerah kalimantan untuk bekerja. Dalam setahun biasanya mudik saat puasa
atau lebaran tiba. Kedua anak tersebut telah putus sekolah sejak lulus dari SD
dikarenakan kurangnya biaya untuk melanjutkan sekolah apalagi saat ini biaya
untuk masuk ke sekolah-sekolah sangat mahal dan susah di jangkau. Sedangkan dua
anaknya lagi kini masih duduk di bangku SD, Fadillah duduk di kelas 6 SD dan
Farhan masih duduk di kelas 3 SD. Ketika aku datang Farhan sudah tertidur lelap
diatas pembaringan. Kata Ibu Ia terlalu lelah karena seharian ikut Ayah melaut.
Farhan memiliki semangat yang tinggi untuk tetap lanjut sekolah meski usianya
masih sangat dini, untuk itu Ia tak pernah bosan dan lelah untuk membantu Ayah menangkap ikan di laut dan
memasarkan hasil tangkapan ikan. Fadillah biasa dipanggil Dila, juga memiliki
semangat yang tinggi untuk tetap bisa bersekolah. Setiap harinya sepulang dari
sekolah Ia langsung bergegas ke rumah saudara Ibu untuk membantu memasak. Dari
situ Dilah memperoleh upah yang sebagiannya selalu Ia sisihkan untuk ditabung.
Dan hal itu selalu Ia lakukan dengan senang hati tanpa mengenal lelah untuk
mencapai cita-cita yang Ia impikan. Dilah memiliki cita-cita menjadi seorang
pegawai Bank sedangkan Farhan bercita-cita menjadi Pilot. Sungguh hal yang luar
biasa. Saya malu dan kagum atas semangat mereka untuk tetap dapt melanjutkan
sekolah.
Bahagia
dan sedih itulah yang saya rasakan diawal pertemuan kami. Bahagia karena
saya mendapatkan keluarga baru yang begitu baik dan menganggap saya seperti
anak sendiri yang tak pernah terlintas sedikitpun dalam pikiranku selama ini.
Disisi lain ada perasaan sedih, sedih akan adanya perpisahan di antara kami.
Karena kedatangan kami disini hanya berlangsung selama 3 hari. Kami hanya
diberi waktu selama 3 hari untuk merasakan hidup bersama mereka. Saya
tinggal di rumah Ibu tak cukup tiga hari karena saya harus pulang untuk
melaksanakan kewajiban sebagai seorang mahasiswa. Meskipun hanya dua hari aku berada
di rumah Ibu aku belajar banyak hal. Terutama akan pentingnya bersyukur dengan
apa yang telah dimiliki, dan senantiasa menjaga kobaran semangat agar tak
pernah padam untuk mencapai apa yang kita cita-citakan serta senantiasa bekerja
keras untuk mendapat apa yang kita inginkan. Terima Kasih Ibu, terima kasih
Ayah, terima kasih adik-adikku yang luar biasa semangatnya.
Saya terbangun dari tidur panjang selama ini. Saya
selalu terfokuspada kehidupan saya sendiri, bagaimana caranya saya bisa sukses
dan sejuta keinginan lainnya. Saya hanyalah mahasiswa yang memiliki sedikit
pengalaman dalam kehidupan. Sesungguhnya saya tergolong orang yang egois. Namun,
sebuah pengalaman baru sontak mampu membangunkan saya dan mampu membuat saya
lebih bersyukur atas apa yang telah saya miliki saat ini. Saya masih termasuk
orang yang beruntung dibanding mereka.
Mereka belum bernasib baik saperti saya. Saya menjadi lebih bahagia menjalani
kehidupan meskipun tak pernah sesempurna yang saya saya banyangkan. Terima
Kasih untuk pelajaran berharga ini. Kalian adalah Guru Hidupku.
0 comments
It's nice to see you !