Suasana
menjadi ramai namun sedikit mencekam. Bagaimana tidak, dusun pesisir
yang jaraknya kurang lebih 7 km dengan kondisi jalanan yang rusak dari
desa induk yang dihuni sekitar 50 KK ini tidak ada sambungan listrik
dari PLN. Saat malam datang, mata tak dapat menangkap bayangan apapun.
Hitam kelam kecuali cahaya bintang dan bulan saja yang kebetulan
menyembul malam itu dan cahaya lampu dari 2-3 rumah yang memiliki mesin
genset. Tak ada suara lain yang terdengar kecuali suara mesin genset
dari rumah warga yang beradu dengan deburan ombak yang pecah di tepian
pantai sementara angin bertiup sedikit kencang seolah menambah cekamnya
suasana malam itu. Malam di Moian bagaikan di dunia lain. Rumah Bahari Gemilang alias Rubalang dengan agenda Home Stay nya adalah alasan mengapa kami berada disini.
Beberapa pemuda desa Palapi Dusun Moian |
Selasa, 06 September 2016. Jarum jam sudah menunjukkan waktu hampir pukul 22.00 WITA. Homebase
tempat kami tinggal untuk beberapa hari ke depan masih begitu ramai
dengan warga yang lalu-lalang, datang dan pergi untuk melihat kejadian
malam itu. Satu per satu warga disana terlihat mengerahkan kemampuannya
untuk membantu teman kami yang merupakan perwakilan dari organisasi UKPM
FKIP UNTAD. untuk mengeluarkan jin (katanya) yang menguasai dirinya
kala itu (baca : kesurupan atau kemasukan). Cukup lama mengatasinya
hingga akhirnya teman kami, Fira berhenti meronta dan tak sadarkan diri.
Namun, akhirnya Ia terbangun dan nampak begitu lelah olehnya Ia harus
beristirahat. Nampaknya jin yang menguasainya sudah keluar. Di sudut
ruangan seorang rekan tetap melanjutkan bacaan Al-Qurannya. Harapannya
bisa membuat suasana menjadi sedikit lebih tenang.
Aku
dan 4 orang temanku, Kartina, Lela, Reret seta Kak Tofan memutuskan
untuk kembali ke pendopo yang jaraknya tidak begitu jauh. Letaknya
lebih dekat dengan pantai. Rekan-rekan di Homebase meminta kami
untuk tetap tinggal. Tapi, tidak. Ada beberapa hal penting yang harus
kami bicarakan mengenai proyek yang masih akan berlangsung 2 hari ke
depan. Kami berjalan beriringan menuju pendopo. Di malam yang begitu
gelap itu, mataku tak dapat melihat apa-apa bahkan pendopo itu bagaikan
tak ada. Syukurlah ada senter HP yang membantu sebagai penerangan kami
di sepanjang jalan. Sebagian teman-temanku nampak begitu tegang.
Sesekali ku ceritakan cerita-cerita mistik yang terjadi di kampungku
sebagai pencair suasana. Hehe. Lantas hal ini menimbulkan protes dari
teman-temanku. Mereka memintaku
untuk berhenti menceritakan hal-hal seperti itu.
Masih
2 hari lagi kami akan berada di tempat ini. Strategi untuk eksekusi di
lapangan besok harus kami rampungkan malam ini. Dengan tim yang hanya
berjumlah 6 orang kami harus mempersiapkan semuanya. Kami berembug
ditengah gelapnya malam yang nampak semakin mencekam. Aku menyalakan HP
untuk membantu penerangan sembari ku lanjutkan bacaanku lewat Al-Quran
digital di HP.ku, tak mengapalah yang terpenting ada tambahan bacaan
hari itu walaupun hanya satu ayat. Angin mulai bertiup kencang dingin
menusuk hingga ke tulang. Nampak petir dan kilat mulai berharmoni.
Langit mendung. Nampaknya sebentar lagi akan turun hujan deras. Sesekali
ada bayangan yang tak ku tahu pasti itu apa tertangkap oleh mataku
ketika ada kilat saling bersambar. Pembahasan kami makin asyik. Tak
terasa waktu menunjukkan hampir pukul 00.00 WITA.
"Haaaa
aaahhhh....." Tetiba terdengar suara teriakan rekanku Reret yang
terdengar seperti sangat ketakutan disertai gerakan refleks dari Lela
yang langsung berlali ke arah belakang. Hampir saja Lela berpegangan
terhadap Husain yang ada di belakangnya. Aku tak paham, Ada apa dan
kenapa mereka berteriak ketakutan seperti itu. Kak Tofan yang duduk
tidak terlalu jauh dariku bertanya ada apa, tapi tak di jawab. Lela dan
Reret serta Kartina hanya menunjuk ke arah tepat di belakangku. Dengan
sedikit perasaan ragu-ragu. Aku berbalik ke belakang. Astagfirullahaladzim. Kembali ku pastikan apa yang sebenarnya ku lihat.
Nampak sosok seorang Bapak dengan wajah yang begitu pucat, pakaian sedikit acak-acakan dengan bibirnya yang komat kamit entah apa yang dikatakannya dengan berjalan "Ngesot" dari sebuah ruangan di pendopo ke arah kami yang sedang berembug. Owalah, ternyata ini yang membuat rekanku berteriak pun aku juga turut menghindar ketika ku lihat sosok tersebut. Antara percaya atau tidak, dengan tanya yang terus berkecamuk. Apakah itu orang atau hantu dusun Moian? Apalagi tadi baru-baru ada teman yang kesurupan ? Aah, tidak. Tapi itu siapa. Kak Tofan sempat berpikiran bahwa apa yang dilihatnya itu adalah makhluk gaib. Sempat ia bicara membatin dengan dirinya bahwa akhirnya dia bisa melihat makhluk dari dunia lain. Tapi, tak ada pilihan lain kak Tofan sebagai yang tertua kala itu memberanikan diri mendekati sosok tersebut.
Sedikit bernapas lega. Ternyata sosok tersebut adalah manusia. Hehehe. Seorang Bapak yang sedang jadi buruh dalam pembangunan perumahan disana. Hanya saja ketika itu sang Bapak tengah mabuk. Awalnya kami merasa aman-aman saja. Namun, setelah berbincang dengan Bapak yang kondisinya mabuk perkataannya mulai ngawur. Kak Tofan akhirnya meminta bantuan kepada seorang kakak dan teman-temannya yang katanya warga disana meski dari dusun yang berbeda. Akhirnya sang Bapak kembali ke ruangan tempat ia keluar tadi. Perbincangan malam itu kami akhiri. Tak lama kemudian keluar seorang Ibu yang juga menginap di pendopo itu tapi di ruangan yang berbeda. Ia mengingatkan kami bahwa sedikit tak aman jika akan menginap di tempat itu karena terbuka dan dikhawatirkan banyak pemuda-pemuda disana yang mabuk-mabukan merapat ke pendopo.
Kak Arif, Kartina & Lela di sekitar tenda tempat kami menginap |
Tak ada pilihan lain. Tak aman bagi kami perempuan untuk tetap menetap dan menginap di Pendopo setelah kejadian yang terjadi hari itu. Akhirnya kami menghabiskan malam dan berebah istirahat di sebuah tenda milik kakak-kakak kru dari organisasi ICLO (Indonesian Celebes Littoral Organization) sedangkan Kak Tofan dan Husain tetap di Pendopo mengingat ada banyak barang bawaan yang tak bisa ditinggalkan. Disini kami merasa lebih aman.
Benar saja. Seperti dugaanku di awal. Cuaca mendung. Akhirnya hari itu diakhiri dengan hujan deras yang disertai kilat dan suara petir yang menggelegar. Adalah saya, Lela, Kartina dan Reret, kami berempat di dalam tenda yang berwarna biru kuning itu. Cukup menjadi peneduh, merebahkan diri sembari mengingat-ngingat kembali apa yang sudah terjadi satu hari di hari pertama ini. Kami terlelap dengan sebuah kesimpulan akhir, Bukan. Sosok itu Bukan Hantu dari Moian.