Siapa yang Jahat ?

Menjalin kedekatan dengan setiap orang yang baru saya temui, bukanlah perkara gampang semudah mengatakan “oke gugel” lalu tinggal sebutin kata kunci dan seketika apa yang saya cari dan butuhkan langsung tersaji di layar hape. Buat orang yang datar, introvert, sejenis saya ini, membutuhkan treatment khusus untuk menghadapi realitas tersebut. Tentulah, ini gak mudah. Harus melatih mengendalikan ego yang kadang suka menghasut pikiran ini untuk “sudahlah.. ngapain juga ngurusin mereka.. urusin aja urusan kamu sendiri”.


Hampir setiap saat saya harus nge-force diri buat bisa akrab sama orang baru hingga kadang saya pun butuh imbost-force biar tetap prima 😆, karena saya sadar hal itu sangat perlu, di setiap periode yang durasinya cukup beragam, yang pada waktunya saya akan bertemu orang baru dengan karakter yang variatif pula. 


Ya pastilah. Saya harus berhasil olehnya berbagai jurus pataba (baca : ampuh) pun diterapkan sebagai penunjang misi tersebut, dan setiap keberhasilan selalu saya anggap sebagai prestasi, pun saya turut puas akan hal itu. Hihihiii...


Berhasil memang. Namun, disisi lain ada hal yang lebih menguras perasaan dibanding nge-force buat mengakrabkan diri ke orang-orang baru yaitu, ketika penghujung periode tiba, ketika saya ada pada tahap lagi nyaman-nyamannya dengan mereka yang sudah berubah menjadi akrab,tak lagi baru, tanpa saya sadari bahwa masa belajar mereka telah selesai dan harus kembali, pulang, atau tetiba pulang dadakan akibat berbagai hal. Aah, rasanya pengen nahan, jangan dulu pulang, tapi emang loh siapa ? Lagipula mereka emang harus balik ke kehidupan mereka yang nyata karena banyak hal yang sudah menunggu mereka.


Hiks 😧😩.. Kalau ini terjadi sekali dua kali sih sante aja. Gak enaknya, ini terjadinya berkali-kali. Rasanya lelah juga ketika harus menyiapkan ruang untuk merindu setiap masa yang sempat terlalui bersama ketika mereka pergi. Hampir setiap periode seperti itu.. 

Mereka pergi, dan ada yang datang. Sederhananya, saya punya rutinitas, pe er tetap, siap menyambut dan siap melepas. Dan itu adalah hal yang paling gak enak yang pernah saya rasakan. Iya sih saya ingat, emang katanya bahwa setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Iya, ini artinya bahwa, pada siklusnya, saya diwajibkan untuk siaga dalam sambutan selamat datang dan menyiapkan ruang rindu setelah mengucap selamat tinggal.


Bukan kata selamat tinggal sih sebenarnya, hanya sebuah pesan pertemuan kembali. Saya gak pernah suka kata selamat tinggal, karena seolah itu menjadi akhir dari sebuah pertemuan, semuanya. Ucapan “Sampai jumpa lagi di lain waktu” lebih menjadi andalan saya karena saya yakin bahwa perpisahan dari sebuah awal pertemuan mampu membawa kita kembali pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Saya hanya bisa pastikan bahwa setiap cerita yang terukir akan menjadi salah satu momen terbaik dalam hidup saya, orang-orangnya dan kisah-kisahnya yang unik 😊.

Hhmm.. Iya.. Siklus ini cukup menyakiti 💔.. 

Saya jadi ingat lagi sebuah statement “Pare Jahat”. Diam-diam saya turut setuju meski dengan masih banyak gejolak tanya. Aaahh.. Sebenarnya siapa yang jahat ?..

2 comments

  1. Terlalu tega rasanya menyebutnya perpisahan,
    Sebut saja kita menjeda pertemuan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Menjeda, untuk meresapi nikmatnya bersua setelah merindu.

      Delete

It's nice to see you !