Sebagai permulaan, saya ingin bertanya "Kapan terakhir kali kita mengalami hal buruk, kekecewaan, kegagalan, kesedihan atau bahasa kasarnya "kesialan" dalam hidup kita?". Yap, silahkan dijawab dalam hatinya masing-masing. Tentang jawaban waktu, saya yakin pasti beragam, bisa jadi 5 tahun, 2 tahun, 2 bulan, 1 minggu, 1 hari, 2 jam atau beberapa detik yang lalu. Yap, berbeda-beda memang.
Lantas, pertanyaan berikut yang muncul yaitu "Hal apa yang terjadi?", mungkin ada berkas kita yang hilang, kegiatan yang sudah kita susun serapi-rapinya tiba-tiba berantakan, orang yang kita ekspektasikan akan sangat wah ternyata gak bisa diandalkan sama sekali, orang yang sudah sudah merapal janji manis tapi dengan tanpa rasa bersalah dia mengingkari janjinya, orang yang datang terlambat kebangetan setelah berjanji akan tepat waktu, mungkin ada yang komplen karena ada hasil kerja kita yang gak sesuai, atau pun berbagai hal yang blunder lainnya.
Apa yang kita rasakan ketika menemui hal yang seperti itu? Sebel pasti, marah pun iya. Saya yakin. Berikutnya, reaksi apa yang muncul ? Saya pastikan bahwa hal itupun beragam. Mungkin ada yang berusaha berlapang dada dan mencoba menghadapi problem tersebut dengan santai, terlebih bagi seorang penanggung jawab, sang Leader, sang atasan ketika mendapati apa yang dilakukan oleh bawahannya gak sesuai ekspektasinya, sembari mengkomunikasikannya dengan cara yang baik pun menuntun untuk saling introspeksi diri, sebelum akhirnya berkomentar macam-macam. Pun kemungkinan lain juga yaitu kita langsung mengambil simpulan sepihak dan langsung menyalahkan orang lain dengan berdalih macam-macam, untung-untungan jika kita mengomentari orang lain dengan kata-kata yang masih wajar tapi kalau sebaliknya, itu mah kebangetan.
Jika kita ada di posisi seperti itu, maka kebebasan adalah hak kita. Silahkan memilih ! Pilihan kita mau jadi yang mana, semuanya terserah kita. Termasuk jika kita harus memilih untuk selalu membidik "kambing hitam" terlebih dulu ketika mendapati problem.
Besar harapan agar janganlah sampai kita lebih terlatih menjadi orang yang ahli dalam menyalahkan orang lain. Ketika ada masalah, kita berharap kita ada di posisi teraman. Di pikiran kita, kitalah yang selalu benar. Kita terlalu suka membesarkan kesalahan orang lain, sementara ketika kita ada di posisinya maka kita seolah mengemis iba agar semua masalah clear.. Hei, sadarkah kita ?
Dari sebuah buku (Merawat kebahagiaan yg ditulis oleh seorang Psikolog), saya membaca sebuah kutipan, yang pun juga dikutip dari sebuah seminar motivasi, yang mana kutipan tersebut diterapkan oleh seorang perempuan hingga akhirnya semua jadi korban, dalam hal ini menjadi orang yang selalu disalahkan ketika problem terjadi, seperti menyalahkan anaknya ketika nilainya turun. Dia mengatakan bahwa itu karena salah anaknya yang lebih banyak bermain. Padahal, itu bukan sepenuhnya anak yang salah, tapi karena pola asuh orang tua yang masih butuh pembenahan agar anak lebih disiplin.
Yap, kurang lebih kata-kata speaker dalam seminar motivasi tersebut (kalo gak salah saya juga pernah mendengar kata-kata tersebut sewaktu di kampus) seperti berikut :
Yap, kurang lebih kata-kata speaker dalam seminar motivasi tersebut (kalo gak salah saya juga pernah mendengar kata-kata tersebut sewaktu di kampus) seperti berikut :
"Jika kamu ingin mengendalikan hidup sesuai keinginanmu maka kuasailah orang-orang disekitarmu supaya mau mengikutimu. Kamu yang memegang kendali, kamu yang benar, selain kamu salah".
Hhmm.. Nggak ada yang salah sih dengan ini hanya saja yakin kita mau ngikutin hal ini? Silahkan dipikir-pikir lagi. Kita diperintahkan untuk memposisikan diri pada posisi benar sekalipun kita salah, pastinya dengan memaksimalkan jurus pamungkas dalam berdalih.
Sudah seharusnya kita tempatkan prioritas dalam selektifitas untuk menelaah informasi yang kita dapatkan sebelum akhirnya kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, terlebih jika kita adalah seorang pemimpin dalam tim. Jika seperti itu terus menerus apakah kita yakin bahwa tim akan betah bersama kita? Bisa saja iya pun bisa juga tidak. Bisa jadi okefain saja. Tapi, cobalah kita memikirkan untuk jangka panjangnya.
Sebaiknya, sebelum beburu menyalahkan orang lain, cobalah cek lagi ke dalam diri kita dan bertanyalah. Jika kita sebagai atasan maka tanyakanlah "Apakah selama ini saya sudah menjadi atasan yang baik untuk bawahan kita ? Sudahkah kita mengarahkan mereka dengan baik? Sudahkah kita merangkul mereka?". Jika kita sebagai seorang sahabat bertanyalah "Apakah kita sudah menjadi sahabat yang baik bagi sahabat kita?". Dan silahkan tanyakan pertanyaan-pertanyaan lain sebagai bentuk inrospeksi diri kita.
Setelah mengembalikan semua ke diri kita sendiri dan jawaban telah kita temukan. Maka, salahkanlah orang lain jika mereka memang salah. Tapi, satu hal yang sejatinya butuh kita perhatikan adalah sebisa mungkin untuk tidak menyalahkan dengan makian kasar karena itu bisa membunuh kepercayaan diri mereka, mematikan kreatifitas, dan berbagai dampak negatif lainnya, pun yang merasakah efeknya tidak lain adalah kita juga.
Saya teringat sebuah kisah nyata di India yang diangkat menjadi sebuah film yang berjudul Taare Zameen Par, yang mengisahkan tentang seorang anak penderita Dyslexia (Penyakit yang menyebabkan kesulitan mengenal dan mengingat bentuk abjad dan angka) yang selalu mendapatkan perlakuan kurang baik dan makian kasar dari ayah, guru dan beberapa teman sekolahnya, yang akhirnya membuatnya berhenti menggambar (aktivitas yang paling disukainya), padahal dia sangat berbakat, bukan hanya itu akhirnya dia pun terpukul, stres dan akhirnya memilih banyak diam, tidak ingin berbicara dengan siapapun. Sungguh, dia hanya butuh dirangkul dengan baik dan sepenuh hati. Ini terbukti karena akhirnya Ishaan, sang anak, dipertemukan dengan sang guru yang berhasil yang membuatnya menemukan kembali jati dirinya dan siap berkarya untuk perubahan.
Kisah tentang tradisi di pulau Solomon, di daerah Pasifik Selatan, pun bisa kita lirik. Dimana para penduduknya memiliki kebiasaan unik ketika ingin menebang pohon besar. Mereka akan datang beramai-ramai dan meneriaki pohon tersebut dengan kata-kata kasar. Maka, biasanya pohon tersebut akan mati setelah 40 hari, dan setelahnya, kayunya bisa diambil.
Nah, dari kisah tersebut kita bisa belajar tentunya. Jangan sampai kita menjadi terlatih menyalahkan orang lain, menjadi hakim, tanpa melihat kedalam diri terlebih dahulu. Jangan sampai kita malah berujung pada perbuatan menzalimi orang lain. Ingat kita ini manusia yang pastinya gak pernah luput dari kesalahan.
Pun jika kita berdalih hal ini sebagai bagian dari training penguatan mental, maka okebaik. Pun juga kita harus ingat bahwa gak semua orang bisa cocok dengan metode seperti itu. Yap memang itu bisa jadi adalah hal terbaik versi dia, tapi jika ada cara yang lebih baik mengapa harus lewat cara main ngomong seenaknya, menyalahkan seenaknya. Ayolah, kita ini manusia yang punya hati guys !. Marilah kita bicarakan baik-baik. Semoga kita terus bertumbuh dalam tempaan segala proses yang baik-baik.
Semoga kita bisa mememtik makna. Terima kasih ☺
Semoga kita bisa mememtik makna. Terima kasih ☺
0 comments
It's nice to see you !