Sudah sekitar pukul 08.00 malam. Cuaca mendadak tak bersahabat. Gerimis mulai berjatuhan sementara tujuan masih sekitar 100 km lagi. Ripda, temanku semakin memacu kecepatan berharap ada perkampungan di hadapan kami, dan berharap gerimis semakin memudar. Sayangnya, kami salah. Hujan malah semakin deras dan memaksa kami singgah di sebuah kios sesaat sebelum memasuki desa Malala, memakai mantel dan menutupi barang bawaan dengan kentongan.
Perjalanan baru setengah jalan. Hujan tak ada pengertian sedikitpun. Keputusan untuk bernaung lebih lama batal. Akhirnya, kami memilih menerobos lebatnya guyuran hujan malam itu agar bisa sesegera mungkin sampai di tempat tujuan, rumahnya Rahmat di desa Ogotua.
Kami baru sampai sekitar pukul 11.00 malam (kalo tidak salah) dalam keadaan basah kuyup. Sedikit beruntung, mantel windbreaker yang saya gunakan di bagian dalam sangat membantu. Meski bagian bawah gamis basah, tetap saja saya tidak merasa kedinginan yang berarti.
Berbeda dengan temanku Ripda. Dia sangat kedinginan, makanya langsung berganti pakaian sesaat ketika sampai. Sementara saya, saya masih bisa menikmati tidur beberapa saat tanpa berganti pakaian (karna malas bongkar tas dan emang bawa baju hanya 3 pasang 😂). Ga masuk angin? Untungnya tidak, karena saya manusia angin wkwkwk. Etapi, serius.. saya bersyukur menjadi salah satu orang yang cukup toleran dengan dingin.
Di rumahnya, Rahmat dan keluarganya sudah menunggu kedatangan kami. Kami langsung disambut dengan teh hangat dan makan (larut) malam.
***
Salah satu cara menikmati perjalanan adalah mensyukuri dan memetik hikmah dari hal yang terjadi setiap jengkalnya. Salah satu bagian yang paling kusenangi dari setiap perjalanan adalah bertemu dengan orang baru dan membangun relasi yang diproyeksikan untuk berbagai peluang agenda kebaikan.
Banyak orang yang full of energy menebar kebaikan kutemui dalam perjalanan kali ini, disini, desa Ogotua. Sebut saja Rahmat sebagai yang pertama. Rahmat ini adalah teman dari temanku, Ripda, yang akhirnya juga menjadi temanku sekarang. Pemuda lokal yang mau menjadi "Sarjana Kampung" alias pasca usai sarjana langsung kembali dan mengabdi di kampung halaman. Pun bermimpi besar menggerakkan pemuda setempat ke arah kebaikan, sampe-sampe Ia membentuk komunitas hijrah dampal Utara. Salut pokoknya. Atau sebut saja Hasrul dan juga Pak Guru Syarif. Pemuda yang juga tak kalah bersemangatnya untuk membangun daerah tersebut. Dua orang humoris yang selalu membuat rahang tak pernah istirahat karna berbagai lelucon lucu mereka.
Dermaga Pulau Lingayan |
Beberapa hari berada disana dengan sambutan mereka, membuatku merasa nyaman dan diterima. Kami sempat berkunjung ke pulau Lingayan dengan segala dramanya hingga tidur di dermaga di area wisata di pulau tersebut. Untung si Hasrul sebagai anak Ogotua yang sangat kenal baik dengan warga di Lingayan, yang membuat kami memperoleh banyak kemudahan selama di pulau. Dipinjami motor untuk mobilisasi di pulau, misalnya. Meski pada akhirnya, motornya juga tidak terpakai.
Motor warga yang dipinjamkan |
Rumput laut hasil panen rumput laut keluarga angkat Ripda |
Nemu warga yang punya pohon jambu dan lagi berbuah |
Bersama anak-anak di rumah belajar (rumah belajarnya tepat di belakang kami) |
Langkah Kakiku, Ripda dan Hasrul |
Bukan hanya itu, bersama Pak Guru Syarif dan Rahmat, kami juga sempat berkunjung ke salah satu pondok belajar anak-anak di desa Kabinuang dan sempat mengadakan belajar bersama dan sharing kecil-kecilan disana.
0 comments
It's nice to see you !