Sifat-Sifat yang Harus Dimiliki oleh Relawan

Menyoal tentang Relawan maka saya ingin berbagi ringkasan dari ulasan materi yang dibahas di dalam Voice Sharing Class (2nd Session) dengan narasumber Pak Bayu Gawtama yang merupakan founder dari Sekolah Relawan Indonesia bersama para relawan-relawan tangguh Indonesia, kemarin. Ada banyak hal penting lainnya yang sejatinya harus kita pahami dengan baik mengenai seorang relawan yang sebenarnya, karena ternyata relawan bukan hanya urusan rela atau tidak rela, namun lebih dari itu. Mari kita maknai bersama-sama, semoga kita bisa mengambil manfaat dari sini 😊. 

Seorang relawan sejatinya memiliki 2 sifat dasar yang terpelihara rapi dalam dirinya. Sifat dasar itu adalah sifat “senang” dan "sifat empati". 


Pertama, sifat senang. Sifat pertama dan utama yang harus dimiliki seorang relawan yakni sifat “senang”. Dalam hal ini senang dalam melakukan kebaikan, senang berbuat sesuatu hal yang bermanfaat dan senang dalam melakukan berbagai hal yang bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi lebih untuk orang lain/banyak.

Nah kita bisa melihat langsung kedalam diri sendiri, apakah kita cukup memiliki 'kesenangan' seperti itu atau tidak? Jika Ya, maka berbahagialah karena kita sudah memiliki sifat dasar seorang relawan. Tapi jika TIDAK atau KURANG, maka banyak hal yang harus kita perbaiki. Karena mungkin saja kita masih termasuk dalam kelompok-kelompok egois.


Ini menjadi hal utama pertama karena akan menentukan sejauh mana kontribusi dan kesungguhan kita dalam menjalani aktivitas-aktivitas kerelawanan yang kita ikuti nantinya. 


Namun, pada dasarnya mayoritas dari relawan pasti memiliki sifat tersebut karena sejatinya sifat tersebut adalah fitrah dalam setiap diri manusia. Oleh karena itu, harapannya, sifat dasar  ini dapat terpelihara dengan baik sehingga akan mudah bagi kita untuk memiliki pola pikir sebagai seorang relawan sejati. 

Kedua,
sifat empati. Salah satu bentuk kecerdasan yang paling dimiliki seorang relawan adalah kecerdasan emosi. Emotional Intelligent, dan, empati adalah salah satu bentuknya. Sebenarnya, sifat empati ini juga adalah fitrah. Bahkan sejak kita masih kecil. Sejak kecil, kita terbiasa punya empati meski kita tidak menyadarinya. Sebagai contoh, waktu kecil saat bermain lari-larian, lalu teman kita jatuh terluka, apakah kita pernah ikut-ikutan meringis (meski kadang hanya pura-pura), ikut memegang-memegang kaki seolah kita juga terluka? Jika ya, maka dipastikan bahwa kita punya empati yang tinggi, artinya kita seolah ikut  merasakan penderitaan orang lain. 


Empati adalah menempatkan diri (dan hati) pada posisi orang lain. Empati ini merupakan nilai dasar seorang relawan, yang akan menjadikan kita secara sukarela melakukan kebaikan yang tak terhingga bagi orang lain. 


Selanjutnya, setelah sifat dasar, salah satu modal utama seorang relawan adalah peka dan paham persoalan/problem yang terjadi  di sekitarnya. 


Hal ini penting. Kenapa? Karena hanya mereka yang paham problem yang akan bergerak menyelesaikannya. Bagaimana mungkin kita membantu sementara kita tidak paham masalahnya apa, khawatirnya tindakan kita tidak tepat sasaran. Jangan sampai seperti sebuah kisah seorang pemuda yang ingin menyelamatkan seekor ikan dari banjir bandang dan hanya meletakkannya di darat tanpa dimasukkan ke dalam kolam atau wadah berisi air. Bukan menyelamatkan tapi malah membuat ikannya mati.  

Berapa banyak orang yang acuh terhadap problem di sekitarnya? Contoh sederhananya adalah sampah. Ada sampah berserakan dicuek, ada anak putus sekolah dicuek pula, ada tetangga kelaparan masa bodoh pula, karena bagi dia itu bukan masalahnya. 

Nah, relawan seharusnya tidak bisa bersikap seperti itu, setiap relawan harus peka dan sensitif melihat problem di sekitarnya, lalu dia berpikir bagaimana mencari solusinya. Dengan kata lain, dia paham ada masalah di sekitarnya dan dia pula yang paling bertanggungjawab untuk selesaikan problem di sekitarnya.  Entah ditangani sendiri atau lebih baik lagi ia menggalang tim untuk mengatasi setiap problem itu secara bersama-sama, asalkan ada aksi untuk membantu. Lagipula, setiap problem dibereskn bersama akan terasa lebih mudah. 


Selanjutnya, kemampuan lain yang harus dimiliki seorang relawan, salah satunya, adalah leadership. Kemampuan managerial dan menggerakkan masyarakat. Sehingga Ia bukan single fighter. Berikut adalah kiat-kiat praktis untuk menggerakkanN.
 
1. Paham masalah.
2. Cari orang lain (teman) yang juga paham masalah.  
3. Jadikan masalah bersama. 
4. Memberi contoh lebih dulu.   
5. Konsisten dan sustain.

6. Inshaa Allah yang lain juga akan bergerak.

Kalau relawan masih berpikir kerja sendiri, akan sulit baginya berkembang, sulit juga bagi dia untuk melakukan atau menyelesaikan problem yang lebih besar/luas cakupannya.

Sekarang, coba perhatikan gambar dibawah :



Ini MDGs, Millenium Development Goals, tujuan pembangunan milenium. 8 point mdgs itu disepakati oleh lebih dari 100 negara di dunia, termasuk Indonesia. Dicanangkan pada 2000 hingga 2015, atau 15 tahun. 8 point yang merupakan problem utama dari berbagai problem di belahan dunia, untuk diselesaikan bersama. 

8 point yang merupakan problem utama dari berbagai problem di belahan dunia, untuk diselesaikan bersama.  8 poin tersebut adalah sebagai berikut :   
1. Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan,    
2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk semua, Mendorong Kesetaraan Gender, dan Pemberdayaan Perempuan.  
3. Menurunkan Angka Kematian Anak,  
4. Meningkatkan Kesehatan Ibu, 
5.  Memerangi HIV/AIDs, 
6. Malaria dan Penyakit Menular Lainnya,  
7. Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup, dan  
8. Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan. 

Pertanyaannya, setelah tahun 2015 kemarin, bagaimana hasilnya? Tampakknya di Indonesia tidak ada perubahan sejauh ini.

Sebagai contoh, point 1, misalnya pemberantasan masalah kemiskinan dan kkelaparan. Apakah sekarang masih ada orang miskin dan kelaparan? , atau point 2, pemerataan kualitas pendidikan. Apakah masih ada anak putus sekolah? Bagaimana kualitas pendidikan kita? Banyak anak buta huruf? Atau point-point lainnya. 

Jawabannya belum. Malah urusan HIV AIDS jumlah kasus makin bertambah. Pun faktanya pemerataan pendidikan (paling khusus yang dasar) di daerah pelosok dan pesisir masih jauh dari pemerataan, kasus gizi buruk yang terus meningkat, LGBT yang sangat-sangat merugikan, kemitraan global yang sebenarnya hanya menambah hutang negara. Semuanya masih sekedar angan.  

Ada pertanyaan mendasar sebenarnya, kenapa semua problem itu masih banyak dan bahkan meningkat? 

Pertama adalah empati yang masih kurang. Efeknya, kepedulian  terhadap sesama berkurang.  Andil pemerintah masih dianggap kurang maksimal. Terutama dalam upaya sosialisasi dan pelibatan berbagai elemen masyarakat dalam penyelesaian masalah atau pencapaian MDGs. Sistem hukum dan kuasa pemerintah tidak mampu menjamin, dan tidak mampu membuat seluruh elemen masyarakat fight terhadap hal-hal tersebut.  Padahal sudah sangat banyak yangg peduli, hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah komunitas sosial kemasyarakatan serta NGO (Non Government Organization) kemanusian dalam waktu terdekat.

Kedua adalah KONTRIBUSI. Masih banyak diantara masyarakat kita yang ketika lihat anak putus sekolah (padahal tetangga), lalu teriak, "pemerintah kerja apa? Mendiknas ngapain aja?" . Ketika ada tetangga sakit nggak bisa berobat, teriak "menkes bisa kerja nggak?" "Presiden kemana?".

Nah, sebenarnya ini tanggung jawab siapa? Yaa, ini adalah tanggung  jawab semua pihak. Termasuk para relawan, kita. Lah kalau ada tetangga kelaparan sampai gizi buruk, itu tanggung jawab siapa? Ya kita dong tetangganya.  Anak putus sekolah cuma selisih 2 rumah dari rumah kita, ya kita aja yang sekolahin. Nggak perlu teriak pemerintah. 

Apabila setiap individu di masyarakat kita mau berkontribusi selesaikan masalah di sekitarnya, mungkin nggak butuh 15 tahun pencapaian mdgs itu. Nah, artinya ... kita butuh lebih banyak lebih banyak para relawan, yang mau dan sukarela berkontribusi, mau turun tangan bereskan masalah di sekitarnya. MDGs yang tidak selesai pada tahun 2015, kembali dilanjutkan dengan program SDGs, dicanangkan 2016 - 2030. 


Intinya, nasib SDGs di tahun 2030 nanti kemungkinan besar akan  gagal apabila kontribusi kita sebagai elemen masyarakat masih minim. So, ini PR bersama, perbanyak relawan, perbanyak orang-orang yang mengerti masalah dan mau turun tangan bereskan masalah. Selanjutnya, MDGs dan SDGs semestinya jadi acuan bagi lembaga sosial dalam merancang program-programnya. Upayakan setiap program lembaga berorientasi pada pencapaian SDGs. Sehingga akan nampak kerjasama dan kemitraan antara lembaga sosial (masyarakat), pemerintah dan sektor bisnis. 

Ada hal penting lain yang juga harus pahami bahwa jadi relawan kan sepi pujian, sepi tepuk tangan, sepi pengakuan, namun percayalah setiap hal kecil yang dilakukan dengan kesungguhan hati akan mendapat balasan terbaik. Menjadi relawan bisa dimulai dari hal-hal yang kecil dan memberi dampak yang besar. Misalnya, kalian mengajarkan 1 anak sampai bisa baca berarti sudah terlibat  membantu negara/pemerintah di point 2. Punggut sampah di jalan itu keren, bantu pemerintah capai kelestarian lingkungan. Dan seterusnya. 

So, relawan itu asset berharga negara.

Mungkin banyak yang memandang remeh relawan. Sudah biasa lah. Relawan kan emang harus siap diremehkan, harus siap dianggap tidak berbuat apa-apa.Sebagai tambahan, cobalah perhatikan Teorinya Abaraham Maslow dalam Piramida Maslow. Kebutuhan manusia paling mendasar itu fisiologis (pangan, sandang, papan). Nah, Level Relawan bisa dilihat dari pyramida ini. Kalau ada Relawan yg pengen gabung ke organisasi dan bertanya, "dapat makan nggak? Bisa punya baju relawan nggak? Dapat transport?" . Maka, boleh dibilang itu masih level terendah (merujuk pada piramida Maslow).
Semestinya, para relawan itu posisinya tertinggi. Relawan adalah mereka yang hadir untuk memberi kontribusi sebagai bentuk aktualisasi diri. Semestinya, para relawan itu posisinya tertinggi. Relawan adalah mereka yang hadir untuk memberi kontribusi sebagai bentuk aktualisasi diri. Bukan bertanya, dapat apa? Tapi mereka yang mengajukan diri, "saya bisa melakukan ini, itu, kasih saya tempat atau lokasi saya bisa berbuat". Misal, "saya bisa bahasa inggris, saya mau ajar anak2 dhuafa agar bisa bahasa inggris", inilah yg disebut aktualisasi diri.

Disisi lain, bagi beberapa relawan, pasti mindset nya masalah dana. Lantas, bagaimana menyikapi hal ini? Jika hanya mengandalkan tenaga dan waktu untuk membantu sedangkan relawan tidak semua dilebihkan pada masalah materi?. 

Yaa, tentu saja. Semua harus realistis. Namun, organisasi yang baik akan memfasilitasi. Yang penting jadi relawan niatnya bukan cari dana. Kalau organisasi belum sanggup, balik lagi ke bahasan awal, jangan sendiri, cari teman yg bisa diajak terlibat bersama, dalam hal ini mereka yang memiliki kelebihan. Percayalah, niat baik pasti selalu menemukan cara terbaik untuk melahirkan banyak kebaikan lainnya.
___
At least, uraian diatas adalah gambaran umum hasil dari  sesi sharing Voice Sharing Class (2nd Session) yang diadakan oleh lembaga kemanusiaan VOICE (Volunteer of Indonesian Care) Sulteng, pada Jum'at (23/3/18). VOICE merupakan salah satu lembaga tempat  berkumpulnya para relawan kemanusiaan untuk Indonesia dan dunia. Nah, buat teman-teman yang ingin terlibat menjadi relawan silahkan kepo di FP Volunteer of Indonesian Care. Atau, jika ingin mendapat informasi seputar aktifitas kerelawanan lainnya just feel free to ask me !.

Semoga bermanfaat ! 💓💕

0 comments

It's nice to see you !