A Learner's Journal
  • HOME
  • GENERAL
  • REFLEKSI
  • CERITA SAYA
  • CATATAN
  • BICARA LINGKUNGAN
  • ABOUT ME

Aku bukannya tak percaya lagi padamu. Tapi, karena memang tak semua hal harus ku ceritakan padamu, dan kamu pun tak harus tahu semua tentangku. Bukan aku mengharapkan, aku hanya tak tahu apakah nanti kita masih sedekat ini atau malah berbalik.

Kamu tenang saja. Aku tak mengapa, masih selalu baik-baik saja. Harapanku, kita terus bisa serapat ini hingga nanti.

Hhhmm... Ada sedikit kerancuan dalam pikiranmu.

Sudahi dulu. Aku pergi yaa !

Tenang saja. Kamu masih sahabatku, dan aku masih percaya denganmu.

Jika butuh bantuan, jangan sungkan menghubungiku ya ! 😉

(Pinjan, 09 April 2017)
Manusia adalah makhluk sosial yang dalam kesehariannya pasti dihadapkan pada yang namanya interaksi sosial. Dalam hal ini, kita seolah dipaksa untuk melakukan hal tersebut, mulai dari interaksi atas dasar  formalitas saja hingga memang karena ada bahasan mengenai berbagai hal yang benar-benar krusial.

Menjalin pertemanan adalah salah satu bentuk dari interaksi tersebut Berteman dekat hingga akhirnya menamakan hubungan tersebut sebagai persahabatan.

Cobalah sejenak kita menjawab pertanyaan sederhana ini, apakah selama ini kita bisa berteman baik dengan semua orang? Apakah kita bisa akrab dengan semua orang? Apakah kita bisa merasa nyaman dengan semua orang hingga menamakan diri sebagai sahabat? Saya yakin bahwa mayoritas akan menjawab “Tidak”.

Adalah hal manusiawi ketika kita memiliki kecenderungan dalam memilih lingkungan dalam pergaulan. Tidak bisa dipungkiri memang, Kita akan lebih memilih menghabiskan lebih banyak waktu bersama orang-orang yang kita nyaman berbicara dengannya, orang-orang  yang topik apapun kita bahas dengannya selalu nyambung, orang-orang yang kita bisa menjadi diri sendiri ketika bersamanya tanpa harus berpura-pura menjadi orang lain, orang-orang yang dengannya mampu mebuka cakrawala berpikir kita. Singkatnya, kita akan merasa enjoy ketika berhadapan dengan lawan bicara yang menggenggam erat  visi yang sama dengan kita.  

Menemukan partner yang pas itu ibarat sebuah kutub magnet yang tarik menarik sedangkan jika dipertemukan dengan partner yang kurang cocok ibarat dua kutub magnet yang saling tolak menolak. Ada tarikan dan ada tolakan, dan semuanya terjadi begitu saja secara otodidak.
 “Bertemanlah atau bersahabatlah apa adanya”

Pada keseharian kita, tentunya tidak asing lagi dengan pernyataan tersebut. Umum, orang pada umumnya, akan memahami bahwa hal ini maksudnya adalah kita diharapkan bisa berteman dengan semua orang apapun kondisinya, menerima apapun  kekurangannya, karena sejatinya memang manusia tidak ada yang sempurna.

Sudah ter-set dengan baik di kepala banyak ornag bahwa memang kita harus seperti itu, Efeknya adalah hampir dimanapun selalu terngiang pernyataan berteman apa adanya.

Saya ingin kembali ke pertanyaan singkat tersebut diatas. Ketika kita menjawab tidak maka artinya kita belum bisa menerima seseorang sebagai sahabat “apa adanya”. Iya, harusnya ketika kita mengatakan bahwa kita menerima apa adanya harusnya kita bisa menjadi sahabat bagi setiap orang. 

Faktanya, pasti ada banyak hal yang akan kita pertimbangkan ketika kita memilih sahabat.Saya yakin akan hal tersebut.

Saya adalah seorang introvert yang menganut prinsip untuk memilih "sahabat ada apanya”, memiliki kriteria yang wajib terpenuhi  tentang orang-orang yang ingin saya jadikan sahabat. Iya, saya akan berusaha untuk mendekatkan diri dengan mereka yang senantiasa terlibat dan melibatkan diri dalam kebaikan, dengan mereka yang senantiasa berbenah dengan terus belajar untuk menjadi sebaik-baik manusia. Paling minimal adalah mereka memiliki kemauan untuk jadi lebih baik. Bukan hanya belajar untuk kesuksesan di dunia tetapi juga mempersiapkan diri untuk menggapai bahagia di akhirat kelak. 

Kesadaran akan manusia adalah makhluk yang jauh kesempurnaan darinya tetap tertanam baik dalam pemahaman saya olehnya saya pun terus belajar untuk berproses untuk menjadi lebih baik.

Ingatkah kita dengan hadits Rasulullah yang menyabdakan bahwa agama seorang teman itu bergantung pada agama temannya. Dari sini kita paham bahwa secara tidak langsung Rasulullahh telah memberikan maklumat bahwa kita diminta untuk menemukan teman yang nantinya mampu mengarahkan kita pada kebaikan.

Pun ingatkah kita akan sebuah pepatah yang mengatakan bahwa barang siapa yang berteman dengan pandai besi pasti akan kecipratan api dan barang siapa yang berteman dengan seorang penjual minyak wangi pastilah Ia akan kecipratan percikan wanginya.

Bukan hanya itu, ketika kita memiliki ketertarikan terhadap suatu bidang maka pastilah kita akan lebih dekat dengan orang-orang yang memiliki kesamaan minat dengan kita. Maka, ketika kita masih mempertimbangkan hal-hal seperti visi artinya kita masih berteman bukan “apa adanya” tetapi “ada apanya”.

Sayangnya, selama ini, telah mengakar dalam pikiran kita bahwa berteman ada apanya hanya melulu tentang ada harta yang bisa kita kecipratan manis-manisnya, popularitas yang kita bisa numpang eksis dan tenar, jabatan tinggi yang dengannya akan mempermudah kita untuk menuntaskan urusan kita, kepintarannya yang dengannya kita akan mudah mengerjakan PR dan mendapat nilai yang baik sehingga kita akan dengan mudah menjadi yang terbaik di kelas. Pokoknya citra negatif-lah yang selalu terbangun tentang pernyataan tersebut.

Dengan lingkup pertemanan yang lainnya, apakah saya menarik diri dan tidak berinteraksi dengan mereka? Jawabannya tentu tidak. Saya tidak menarik diri dari sana tapi saya hanya akan membatasi diri dengan tidak berdiam diri. Mencoba memberikan pemahaman dengan model yang berbeda adalah hal yang terus dilakukan sembari terus melangitkan doa semoga Allah segera dan selalu ridho untuk menuntun kita pada jalan-Nya, jalan kebenaran, dan mengistiqamahkan kita di dalamnya.

Memang  tidak ada manusia yang sempurna. Olehnya, kita membutuhkan sahabat ada apanya  bukan apa adanya untuk sama-sama mencari keberkahan di dunia dan kesuksesan, meraih Jannah-Nya, di akhirat kelak.

Jangan sampai salah pilih sahabat !
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting bagi seseorang. dan tentu saja saya percaya akan hal itu. Kebahagiaan keluarga adalah kebahagiaan kita, begitupun sebaliknya, kebahagiaan kita adalah kebahagiaan orang tua. Tak heran, jika pada kebanyakan kita akan berjuang mati-matian dengan alasan untuk kebahagiaan keluarga kita. Cobalah sesekali untuk bertanya kepada orang-orang disekitar kita "apa alasan mereka untuk terus berjuang mati-matian untuk sukses?" maka pastilah mayoritas menjawab "keluarga" atau "orang tua" sebagai salah satu dari berbagai alasan yang mereka sampaikan.

Saya masih terus berjuang untuk bisa melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi, bahkan hingga hari ini. Masih memikul lelah dan berharapkan perwujudan harapan nantinya. Masih mempersabarkan diri dalam proses, disaat banyak orang lain, yang dulunya seleting, sudah mewujudkan lebih dulu. Saya percaya bahwa  ini hanyalah masalah waktu karena perbedaan  jalur yang kita tempuh. Bagi mereka yang memilih kelonggaran masalah biaya mungkin tak membutuhkan persiapan lebih di beberapa bidang. Cukup dengan memfokuskan diri pada ujian. Begitupun dengan mereka yang sudah berjodoh dengan beasiswa dengan tidak perlu menbutuhkan waktu yang lama. Yaa, begitulah. Semua punya jalan yang berbeda-beda. Termasuk harus memilih atau terpilihkan dengan sendirinya untuk mempersiapkan kebutuhan termasuk membidik pluang beasiswa untuk belajar.

Maka tak beda jauh dengan saya. Hari ini saya masih memilih jalan (ini) dengan alasan keluarga. Jalan ini saya tempuh untuk kebahagiaan mereka juga, meski tak terpungkirkan bahwa hal yang saya lakukan efeknya dominan yaa ke diri saya sendiri. Tapi, percayalah, apa yang saya lakukan hari ini adalah untuk mereka. Saya yakin, dengan menjadi "orang" pasti adalah salah satu sumber  kebahagiaan mereka.
 

(TULISAN INI BELUM KELAR, MASIH BUTUH PERBAIKAN)

Aku dan beberapa teman mencoba untuk melakukan sedikit pergerakan disini, beberapa hari sejak bencana Gempa Bumi, Tsunami dan Liquifaksi di Palu itu, dengan menjadi mediator bagi orang-orang terdekat untuk berdonasi lewat kami. Rupanya kami mendapat respons baik  Ya. Banyak yang akhirnya memilih percaya pada mini tim kami itu. Alhamdulillah.. Niat ini bersambut baik.

Menyusul, kemudian, sebuah tawaran dari Kak Tofan, relawan dari komunitas Rumah Bahari Gemilang, yang waktu itu sedang mengusung sebuah posko kolaborasi antara beberapa LSMyang ada di daerah Sulawesi sehingga membuka beberapa posko di kota Luwuk, Makassar dan Palu sendiri. Maka beliaupun mengusulkan untuk membuka posko disini, Kampung Inggris Pare.

Sebelum deal, ku pilih mendiskusikan dulu tawaran tersebut dengan beberapa kawan-kawan yang ada di Pare, tim kami, karena I'm the only woman not wonderwoman. 

Hasilnya keren. Tak butuh banyak penjelasan rupanya untuk membuat mereka menyetujui hal tersebut.

Memang agak kesulitan untuk menentukan waktu yang membuat kami yang ada di Pare ini terkumpul dengan lengkap. Keberadaan kami disini yang memang untuk sebuah misi, yaitu belajar, adalah hal yang cukup menjadi penjeda. Kami cukup kesulitan untuk hal itu, hingga akhirnya kami menemukan satu waktu yang pas untuk bertatap muka secara langsung. Pertemuan ini membuahkan keputusan yang diantaranya adalah mengadakan penggalangan dana di beberapa titik yang ada di Pare. Diantara titik tersebut adalah di daerah lampu merah perempatan jalan menuju Malang.
 


Di perempatan di dekat kantor polisi itulah kami memusatkan aksi keesokannya sebelum berpindah tempat di sore harinya.

Lagi, selalu saja , beragam peristiwa hari itu kembali menguatkan keyakinanku akan kekuatan niat dalam melakukan sesuatu. Hari ini, dipertemukan dengan seorang Ibu penjual buah yang akhirnya memberikan kami 2 sisir pisang dagangannya sembari berpesan "Ntar jangan sampai lupa makan ya! Ini pisangnya semoga bisa jadi pengganjal perut" membuatku kagum. Ku tatap wajah sang Ibu dengan tatapan penuh terima kasih. Disaat banyak orang yang menyertakan tatapan sinis namun ini berbalik, ku dapati sinar mata yang membiaskan keikhlasan, begitu kuat. Pun sempat sang Ibu memelukku ketika kukatakan "Saya dari Palu Bu". Rasanya pengen nangis, tapi malu juga, terlebih terhadap teman-temanku yang berdiri sekitar 2 meter dari kami. "Aahhh mulianya hatimu Bu", gumamku dalam hati. Semoga Allah memudahkan segala urusannya di dunia dan akhirat.

*****

Adzan maghrib berkumandang kini. Kami akhiri aksi  di spot yang kedua, Area Patung Garuda Pare, yang hampir batal karena beberapa kawan yang tetiba berhalangan hadir. Aku pamit pulang dengan membawa sejumlah dana hasil donasi yang terkumpul sore itu. Kawan-kawan pun turut bergegas ke campnya masing-masing. Memang tidak seberapa yang kami bisa dapatkan namun semoga bisa memberi manfaat untuk mereka yang ada di Palu.

Di waktu yang sama, terus ku terima pesan bernada sama, yang menanyakan "Miss, saya mau donasi ini itu. Apa bisa lewat Miss?". Tentu saja, ku iyakan semuanya. Melihatku seperti itu, salah satu kawan selalu menanyakan kepadaku "Gimana distribusinya nanti Na ? Kita belum punya akses untuk itu. Lagipula, kalaupun kita harus gunakan ekspedisi kita masih kekurangan dana". Mendapatkan pertanyaan hal seperti itu adalah hal wajar menurutku, bagi kami yang merupakan pendatang baru di daerah ini. Ku yakinkan bahwa insyaAllah semua punya solusi, jangan panik. Mencoba, Aku meyakinkan meski sebenarnya dalam hati juga was-was sembari terus memikirkan solusi apa yang harus dilakukan.

Kepanikan pun bertambah ketika semakin banyak orang yang ingin berdonasi. Ekspedisi pengiriman barang ke Palu pun belum ada. Paling-paling harus lewat Makassar dan itupun membutuhkan pengawalan yang ketat agar tak terjerat dalam penjarahan (meski ini gak harus disalahkan karena wajarlah bagi orang yang ingin survive di kondisi terancam). Siapa yang harus ngawal. Memang sih ada beberapa yang ingin mengawal. Tapi, semuanya masih butuh persiapan yang lebih.

Panik memang.. Namun, satu hal yang harus dilakukan di tengah kondisi tersebut adalah menjaga ritme dengan tidak terlalu ditampakkan ke semua orang karena saya percaya, percaya atau tidak bahwa hal-hal seperti itu bisa menular. Jika semuanya panik maka hal itu membuat banyak hal jadi blunder. Jadi, kuncinya adalah calm.

*****

Ku dapati info yang beredar tentang pengiriman barang gratis via Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya beberapa hari kemudian. Langsung saja, ku hubungi kontak yang ada untuk memastikan kebenaran info tersebut, untuk keperluan validasi pasalnya waktu itu hoax sungguh tak terbendung. Yap. Solusinya dapat. Barang-barangnya bisa dikirim lewat Surabaya.

Kami mulai beikhtiar mencari transportasi yang akan membawa barang-barang dari Pare ke Pelabuhan. Ditengah pencarian, seorang kawan dari Untad yang kebetulan asli Blitar menghubungiku dan hendak membawa sejumlah donasi dari sekolahnya dengan jumlah yang cukup banyak. Barangnya hanya bisa diangkut menggunakan truk menuju Pare. Setelah beberapa perbincangan akhirnya kami sepakat agar barang tersebut langsung diantar menuju pelabuhan Surabaya agar tak begitu menumpuk di posko mengingat posko kami yang merupakan sebuah lembaga kursusan yang kebetulan tempatku belajar sambil mengajar.
 
*****
Tepat tanggal 08 Oktober 2018. Okeh. Gak ada solusi lain. Aku tak punya pilihan lain selain harus ikut ke Surabaya bersama barang-barang donasi karena sejak awal semua komunikasi bersama petugas di Pelabuhan Tanjung Perak terpusat kesaya. Mendadak, saya harus menutup kelas Writing sore itu, menghubungi tutor untuk meminta izin dan mencari penggantiku di kelas di malamnya. Dalam waktu sekitar 40 menit, semua cleared.

Sesaat kemudian, kami sudah siap di mobil truk warna merah yang sudah kami pasang spanduk bertuliskan Posko Kolaborasi Palu Bangkit untuk menghindari cegatan dari polisi di Jalanan. Akhirnya, kami berenam siap berperjalanan menuju Surabaya. Kami bertiga, saya, Ulfi dan Andes,  adik Ulfi, terpaksa duduk bersempit-sempitan di depan bersama Pak Supir sementara 2 kawan lainnya, Kak Pranda dan Kak Faldi, harus di belakang bersama tumpukan barang.



*****

Rasanya masih sulit percaya kala itu. Semuanya terjadi di luar perencanaan. Hingga sekitar 1 jam perjalanan ku coba untuk mnengkonfirmasi kembali kontak yang aku berkomunikasi dengannya. No Answer adalah jawaban yang kudapati, dan masih, hingga lebih 10 kali ku hubungi nomor yang berbeda.

Mendadak aku jadi panik ketika di panggilan yang sekitar 15 kalinya, diangkat dan dikatakan bahwa kapalnya kemungkinan sudah penuh ketika ku katakan bahwa kami membawa donasi melalui truk. Ohh.. tidak.. Untungnya, sang bapak membuatku optimis dengan perkataan bahwa "InshaAllah akan tetap kami usahakan bagaimanapun caranya". Meski begitu tetap saja gak bisa tenang karena sang Bapak sedang tidak bertugas waktu itu, karena waktu sudah cukup malam. "Semuanya akan baik-baik saja. tetap tenang !", batinku untuk menenangkan diri sementara pikiranku masih melayang ke kelas yang harus ku handle besoknya, yang baru saja tutorku membrifingku di siang hari tadi. Semuanya menjadi satu. Belum lagi mengingat kelas yang akan ku handle ini adalah kelas level 3. Ya Allah.
*****
Akhirnya kami sampai di Pelabuhan tujuan sekitar jam setengah 9 malam setelah sempat mampir di sebuah warung makan (lupa daerah mana) bersama Pak Supir yang sudah berbaik hati membayar menu makan malam kami kala itu. Kami pun sempat singgah di sebuah pos polisi untuk memastikan alamat yang kami tuju namun sayang, pak polisinya gak ada. Hingga akhirnya kami mendapat arahan dari dua orang laki-laki yang sedang duduk di warung pinggiran.

Aku baru merasa tenang ketika melihat petugas yang langsung menyambut dan membantu menurunkan barang untuk diarahkan ke posko yang ada di Pelabuhan. Alhamdulillah.. Semoga bantuan tersebut bisa tersalurkan kepada orang yang tepat.

Setelahnya tak berlama-lama, tidak cukup 1 jam kami di pelabuhan,  kini perjalanan kembali ke Pare dan Blitar di mulai oleh Pak Supir, lagi. Kali ini ku putuskan bersama 2 orang kawan untuk naik di bagian belakang. Harapannya bisa berebah dengan leluasa.

Waktu itu, sempat ku catat di note hape, sekitar 9.40 p.m WIB, perjalanan menuju Pare itu dimulai dan sempat singgah beberapa waktu di sebuah SPBU (lagi-lagi saya gak sempat nyari tahu apa nama SPBUnya) untuk istirahat sejenak sekalian melaksanakan sholat isya.

Sesaat setelah mobil kembali berjalan. Terlihat dari wajah-wajah mereka, teman-temanku, yang sesekali disinari lampu jalan yang remang-remang, mereka nampak kelelahan, pun aku. Namun, ku pilih untuk masih terpaku pada langit malam itu. Menyusuri cakrawala, dengan kacamata yang cukup berdebu, sembari berburu satu bintang yang hanya satu malam itu. Mereka kini sudah lelap dengan mimpinya setelah tersenyum sesaat ketika ku katakan "Iya di langit bintangnya cuma satu karena biantang lainnya disini, di truk ini".

Aku kembali berebah meski goncangan karena jalanan tak rata kadang tak terduga.Aah.. Bersyukur karena itu bukanlah goncangan gempa 7.7 SR seperti yang terjadi 2 minggu lalu di Palu.

Semangat Palu Bangkit
****
Itu adalah sedikit cerita saya dan beberapa kawan yang ada di Pare yang ingin membantu saudara kami di Palu disamping terus melangitkan doa-doa dan harapan untuk kebaikan dan keselamatan saudara-saudara kita, mereka, kita, di dunia dan di akhirat.

Sebenarnya, point penting yang ingin saya sampaikan dibalik cerita ini ada beberapa hal, yaitu :

Pertama, merealisasikan sebuah niatan baik itu tidak semudah membalikkan telapak tangan terlebih tim. Dibutuhkan kemampuan manajemen yang baik. Iya saja, akan sangat beruntung jika kita langsung dipertemukan dengan orang yang memiliki ritme yang sama dengan kita sehingga ketika mendapatkan sebuah problem didalamnya maka akan mudah untuk kita berkoordinasi, saling berdiskusi dari hati ke hati merumuskan solusi. Bukan pada akhirnya menghilang tanpa kabar dan konfirmasi dengan berbagai macam dalih. Hal ini adalah hal yang biasa kita temui sebenarnya. Tapi,  kita tidak bisa juga menyalahkan orang lain  juga. Maka, berprasangka baik adalah solusi ampuhnya. Pun, ketika kita memutuskan untuk membentuk sebuah tim, maka hal penting yang harus kita tanamkan dalam diri adalah rasa memiliki dan tanggung jawab bukan karena ada si A dan si B. Jangan menggantungkan harapan kepada orang lain. Pikirkan bahwa jika bukan kita siapa lagi ?!.

Kedua, jenuh dalam aktivitas pun adalah sebuah kewajaran. Jika kita jenuh, maka rehatkan diri kita. Hal itu manusiawi kok. Tapi ingat, jangan sampai menginfeksi orang lain dengan kejenuhan yang kita miliki karena efeknya gak baik. Kenali dan pelajari how to solve your own problem.

Ketiga, berhenti mengatakan "Saya sibuk" sebagai alasan untuk tidak terlibat dalam tim dengan berbagai hal yang sudah disepati bersama. Saya sibuk adalah sebuah pernyataan yang sangat tidak bertanggung jawab. Sebaiknya, jelaskan dengan detail dan dengan cara yang mudah diterima. Yakinlah selalu bahwa jika kita sampaikan alasan yang rasional maka tim kita pasti akan memahaminya. Jika berbicara kesibukan, pastilah setiap orang di dunia ini punya kesibukannya masing-masing. Lantas bedanya apa? Ya bedanya hanya pada redaksi kata saja. Namun, percaya atau tidak, pemilihan kata dalam berucap itu memiliki efek yang sangat berbeda.

Keempat, tak usah khawatir atas jumlah bantuan yang kita beri kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan. Pertanyaannya adalah "ikhlaskah kita?", kalau sudah ikhlas maka semua aman.

Kelima, jangan ragu untuk berbuat kebaikan karna ada jaminan dari Allah. Allah sudah menjamin dalam Al-Quran Surah Ar-Rahman ayat 60. Tetap tenang, asalkan niat kita lillaah maka Allah pasti memudahkan semuanya.

Maka, semoga kita termasuk dalam lingkaran orang-orang yang terus memaksa diri selalu belajar lebih baik. Ingat, niatkanlah untuk menuntaskan segala rencana, segala apa yang sudah dimulai, hingga tuntas setuntasnya. Jangan biarkan rencana itu menggantung, hanya wacana. Wujudkanlah niat baik itu !

Semangat !!!
Palu Bangkit !!!
Sedikit bercerita tentang pengalaman saya di beberapa aksi penggalangan dana untuk kemanusiaan, atau singkatnya sebut saja menjadi "Tukang Galang Dana" di jalan.

Menjalani pilihan tersebut tidak mudah sebenarnya apalagi jika kita belum memiliki persiapan yang matang terutama kesiapan mental. Dalam setiap aksi pastilah kita akan menemui banyak orang alias calon donatur dengan beragam jenis karakter ketika di lapangan. Dan, kita seharusnya siap dengan semua keadaan yang mungkin terjadi.

Pertama, ada donatur tipe malu-malu kucing dan gak tegaan. Biasanya yang kayak gini, diawal-awal gak terlalu tertarik, malu ketika pengen nyumbang, suka curi-curi pandang dalam mengetahui info dan mungkin masih galau antara mau nyumbang atau nggak, hingga akhirnya dia putusin buat nyumbang karena gak tega nolak ketika ditodong dengan kardus donasi. Mungkin dia keberatan tapi yaa. gapapa pada akhirnya.. ikhlas insya Allah..

Selanjutnya, ada yang tipenya care banget dan memiliki jiwa sosial tinggi sehingga gak nanggung-nanggung buat ngasih. Nah, mereka-mereka ini adalah tipe favorit saya. Gak hanya nyumbang tapi juga mengikutkan senyuman terbaiknya, pun kadang menyertakan motivasi tambahan yang akhirnya mampu nge-transfer energi positif ke setiap orang yang melihat dan mendengarnya. Semoga Allah memudahkan segala urusan kita. Aamiin.

Masih ada lagi. Ini juga favorit saya, yaitu tipe orang-orang yang to the point. Maksudnya, kalo dia gak mau nyumbang ya langsung ngomong tanpa harus pura-pura sibuk geledah saku dan ternyata ehh gak jadi.. 😒.  Iya bener, mereka gak ngebuat kita merasa di gantung alias di-pehape-in, Karena di pehape itu gak enak 😔. Lagipula, kita juga paham kok dan gak akan maksa-maksa banget. Kita hanya sedang berusaha menjadi perantara dalam kebaikan.

Yap, benar-benar beragam memang. Mulai dari yang paling care, biasa saja, suka ngoceh balik, hingga ada pula yang suka nge-pubingin seolah gak ada orang yang lagi cas cis cus (berfaedah) di hadapannya. Dan Jujur, saya adalah tipe orang yang paling gak senang dengan orang-orang seperti ini. Apa salahnya sih masang wajah santai, biasa aja dan berikan tanda bahwa gak sedang ingin berdonasi... Kan gampang !.. Gak enaknya lagi kadang ada yang suka mandang dengan padangan remeh.. Ohh helloo please...

Iya oke, dilain sisi saya pun sadar, hal tersebut adalah sebuah kewajaran, mungkin mereka merasa risih dengan banyaknya tukang galang dana ilegal, dengan dalil yang gak jelas, dan alasan-alasan lainya. Yatapikan itu gak semua orang. Masih sangat banyak kok  stok orang jujur dan baik di dunia ini.

Rasanya ketika bertemu orang-orang seperti itu dilapangan nano-nano banget. Gemess. Ayolah.. Jangan hanya memandang dari satu sisi.

Yah itulah beberapa hal yang akan kita dapati ketika menjadi Tukang Galang Dana ketika turun di lapangan. Perasaan bisa jadi nano-nano, tampil seolah pengamen atau pengemis, bawa propoerti pendukung, kardus dan sejenisnya, panas-panasan, sering dapat penolakan bahkan kadang-kadang ada yang suka nge-underestimate. Malu ? Kadang-kadang, tapi langsung sadar kalau malu mah gak akan menguntungkan. Selama memperjuangkan kebaikan, malu, gak usah dipusingkan itu mah !..

Coba deh kita belajar untuk memandang sesuatu itu jangan dari satu sudut pandang saja, seperti foto. Sebuah foto dengan objek yang sama akan memiliki penampakan yang beda ketika diambil dari sisi yang berbeda. Dari objek yang sama bisa jadi ada yang terihat biasa saja dan ada yang sangat manis. Coba perhatikan kedua gambar dibawah ini !

https://www.hipwee.com/travel/15-foto-instagram-ini-menunjukkan-perbedaan-fotografer-dan-pemula-terlihat-banget-kan-bedanya/

https://www.hipwee.com/travel/15-foto-instagram-ini-menunjukkan-perbedaan-fotografer-dan-pemula-terlihat-banget-kan-bedanya/

Sama halnya dengan aksi galang dana di jalanan ataupun di tempat umum. Mungkin banyak yang akan beranggapan bahwa itu adalah jalan yang memalukan untuk ditempuh jika kita masih memiliki cara lain yang lebih elegan. Awalnya, saya setuju dengan hal  tersebut. Namun, rupanya gak gitugitu juga. Ada satu hal yang menurut saya banyak dilupakan oleh banyak orang yaitu peran untuk menularkan kebaikan untuk menelurkan kebaikan lain. Yap. Sadar atau tidak, ketika kita mengajak orang lain untuk berdonasi artinya kita telah mengajak orang tersebut untuk berbuat baik. Makanya, hingga saat ini saya enjoyenjoy aja buat jadi bagian dari Tukang Galang Dana ketika akan diadaka aksi. Karena dengan begitu artinya kita telah menjadi Mediator Kebaikan, menjadi perantara bagi orang-orang yang masih bingung hal baik apa yang harus mereka lakukan.

Guys, tugas kita bukan hanya untuk melakukan kebaikan tapi juga mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan.  Berhasil membuat orang lain berdonasi maka kita sudah berhasil membawa mereka dalam aktifitas gotong royong membangun kebaikan. Jadilah manusia yang bermanfaat. Tentang jumlah yang kita dapatkan tak perlu dirisaukan pun terlalu mempermasalahkan apakah kita berasal dari lembaga yang besar ataupun yang biasa saja, tugas utama kita adalah membuat orang lain percaya dan merasa aman berdonasi dengan kita serta memastikan bahwa setiap donasi mereka tersalurkan kepada yang seharusnya.

So, jangan malu jadi tukang galang dana di jalan selagi itu untuk segala kebaikan dan kemaslahatan umat.

Wajah memerah, mata  menatap ke langit-langit kosong, berusaha membendung sekumpulan butiran bening yang membanjiri hingga kadang membuat sang pandang menjadi kabur. Kedua bibir ku gigit keras, sederhana, hanya agar tak ada air mata yang tumpah. Kupaksa bibir melengkungkan senyum simetris yang tidak begitu alami. Sebenarnya, saya gak pernah tahu apa penyebabnya, tapi sedikitnya bisa ku tebak. Pesan-pesan yang bunyinya senada yang seringkali datang, Kapan pulang?, pesan dan syair-syair kerinduan yang ku terima, mungkin berhasil mengasah kerinduan hingga semakin tajam saja rindu itu. Yaa, mungkin saya begitu rindu. 

Inilah yang terjadi, bukan sekali namun ini adalah yang kesekian kalinya. Tanpa mikir saya ada dimana, entah di dalam kelas, di keramaian, ataupun sedang apa termasuk saat sedang ngisi kelas, ada-ada saja hal yang tetiba membuat suasana hati, seketika, berubah. Seolah suasana  tetiba menjadi hal yang begitu menyakiti hingga rasanya pengen nangis sejadi-jadinya, serasa butuh sandaran, kadang-kadang. Ya, terkadang. 

Saya benci membahas rindu sebenarnya. Bahasan tentang rindu yang belum bisa diurai hanya akan menjadi pengecut hati. Kecut, masam, gak enak. Terlebuh saat menyadari bahwa masih panjang waktu yang harus dilalui untuk menempuh apa yang sedang menjadi tujuan saat ini, sebelum akhirnya harus pulang ke tujuan akhir, Rumah. Dan, di dalam setiap kisah dalam rentang waktu itulah, rindu itu semakin menyiksa.

Karena se setrong apapun seseorang, tetap saja yang namanya rindu itu tetap bisa saja menyergap, namanya juga manusia. Bagi seorang “saya” yang gak se-setrong yang dibayangkan banyak orang ini, menangis adalah hal yang sering menjadi pilihan karena setelah itulah saya akan merasa kembali siap untuk menghadapi apapun yang akan saya hadapi, seolah ada energi baru. Menangis tanda manja 😎 ? Gak juga😉. Nangis artinya ada hal yang sudah kita sadari dan ketika itulah kita paham bahwa kita harus berhenti menangis. Yaa paling nggak dengan nangis lebih membuat air mata kita lebih bermanfaat. Hitung-hitung negbersihin mata juga dari butiran debu yang mungkin nyangkut ketika beraktifitas di luar 😁😂.

Pasti. Alasan kita ada di jalan ini adalah karena kita harus mengumpul bekal sebanyak-banyaknya untuk kecukupan di tempat tujuan akhir kita, demi kesejahteraan dan kelayakan hidup kelak. Seperti yang dituliskan oleh Fiersa Besari dalam bukunya yang berjudul “Arah Langkah” bahwa Sejauh apapun kita berjalan tujuan akhir kita adalah rumah. Ya, artinya kita harus pulang, ke rumah. Tujuan akhir kita adalah rumah beserta segala yang ada di dalamnya.

Pada akhirnya, sekali lagi, saya pengen bilang bahwa segala hal yang menuntut kita untuk berselimut lelah saat ini hanyalah karena kita harus pulang. Ya, pulang ke rumah, entah itu rumah singgah, Dunia, maupun rumah sebenarnya, Akhirat. Maka, tetaplah berbingkai kesabaran. Tangguhlah dalam setiap tantangan. Semailah rindu agar kita mampu merasakan nikmatnya bersua, saat kembali ke rumah.

Sungguh! Saya sungguh-sungguh ingin nangis sejadi-jadinya, saat ini. Sungguh! Saya benar-benar rindu. Rindu Rumah 💕.

Menjalin kedekatan dengan setiap orang yang baru saya temui, bukanlah perkara gampang semudah mengatakan “oke gugel” lalu tinggal sebutin kata kunci dan seketika apa yang saya cari dan butuhkan langsung tersaji di layar hape. Buat orang yang datar, introvert, sejenis saya ini, membutuhkan treatment khusus untuk menghadapi realitas tersebut. Tentulah, ini gak mudah. Harus melatih mengendalikan ego yang kadang suka menghasut pikiran ini untuk “sudahlah.. ngapain juga ngurusin mereka.. urusin aja urusan kamu sendiri”.


Hampir setiap saat saya harus nge-force diri buat bisa akrab sama orang baru hingga kadang saya pun butuh imbost-force biar tetap prima 😆, karena saya sadar hal itu sangat perlu, di setiap periode yang durasinya cukup beragam, yang pada waktunya saya akan bertemu orang baru dengan karakter yang variatif pula. 


Ya pastilah. Saya harus berhasil olehnya berbagai jurus pataba (baca : ampuh) pun diterapkan sebagai penunjang misi tersebut, dan setiap keberhasilan selalu saya anggap sebagai prestasi, pun saya turut puas akan hal itu. Hihihiii...


Berhasil memang. Namun, disisi lain ada hal yang lebih menguras perasaan dibanding nge-force buat mengakrabkan diri ke orang-orang baru yaitu, ketika penghujung periode tiba, ketika saya ada pada tahap lagi nyaman-nyamannya dengan mereka yang sudah berubah menjadi akrab,tak lagi baru, tanpa saya sadari bahwa masa belajar mereka telah selesai dan harus kembali, pulang, atau tetiba pulang dadakan akibat berbagai hal. Aah, rasanya pengen nahan, jangan dulu pulang, tapi emang loh siapa ? Lagipula mereka emang harus balik ke kehidupan mereka yang nyata karena banyak hal yang sudah menunggu mereka.


Hiks 😧😩.. Kalau ini terjadi sekali dua kali sih sante aja. Gak enaknya, ini terjadinya berkali-kali. Rasanya lelah juga ketika harus menyiapkan ruang untuk merindu setiap masa yang sempat terlalui bersama ketika mereka pergi. Hampir setiap periode seperti itu.. 

Mereka pergi, dan ada yang datang. Sederhananya, saya punya rutinitas, pe er tetap, siap menyambut dan siap melepas. Dan itu adalah hal yang paling gak enak yang pernah saya rasakan. Iya sih saya ingat, emang katanya bahwa setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Iya, ini artinya bahwa, pada siklusnya, saya diwajibkan untuk siaga dalam sambutan selamat datang dan menyiapkan ruang rindu setelah mengucap selamat tinggal.


Bukan kata selamat tinggal sih sebenarnya, hanya sebuah pesan pertemuan kembali. Saya gak pernah suka kata selamat tinggal, karena seolah itu menjadi akhir dari sebuah pertemuan, semuanya. Ucapan “Sampai jumpa lagi di lain waktu” lebih menjadi andalan saya karena saya yakin bahwa perpisahan dari sebuah awal pertemuan mampu membawa kita kembali pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Saya hanya bisa pastikan bahwa setiap cerita yang terukir akan menjadi salah satu momen terbaik dalam hidup saya, orang-orangnya dan kisah-kisahnya yang unik 😊.

Hhmm.. Iya.. Siklus ini cukup menyakiti 💔.. 

Saya jadi ingat lagi sebuah statement “Pare Jahat”. Diam-diam saya turut setuju meski dengan masih banyak gejolak tanya. Aaahh.. Sebenarnya siapa yang jahat ?..

Sebagai permulaan, saya ingin bertanya "Kapan terakhir kali kita mengalami hal buruk, kekecewaan, kegagalan, kesedihan atau bahasa kasarnya "kesialan" dalam hidup kita?". Yap, silahkan dijawab dalam hatinya masing-masing. Tentang jawaban waktu, saya yakin pasti beragam, bisa jadi 5 tahun, 2 tahun, 2 bulan, 1 minggu, 1 hari, 2 jam atau beberapa detik yang lalu. Yap, berbeda-beda memang.

Lantas, pertanyaan berikut yang muncul yaitu  "Hal apa yang terjadi?", mungkin ada berkas kita yang hilang, kegiatan yang sudah kita susun serapi-rapinya tiba-tiba berantakan, orang yang kita ekspektasikan akan sangat wah ternyata gak bisa diandalkan sama sekali, orang yang sudah sudah merapal janji manis tapi dengan tanpa rasa bersalah dia mengingkari janjinya, orang yang datang terlambat kebangetan setelah berjanji akan tepat waktu, mungkin ada yang komplen karena ada hasil kerja kita yang gak sesuai,  atau pun berbagai hal yang blunder lainnya.

Apa yang kita rasakan ketika menemui hal yang seperti itu? Sebel pasti, marah pun iya. Saya yakin. Berikutnya, reaksi apa yang muncul ? Saya pastikan bahwa hal itupun beragam. Mungkin ada yang berusaha berlapang dada dan mencoba menghadapi problem tersebut dengan santai, terlebih bagi seorang penanggung jawab, sang Leader, sang atasan ketika mendapati apa yang dilakukan oleh bawahannya gak sesuai ekspektasinya, sembari mengkomunikasikannya dengan cara yang baik pun menuntun untuk saling introspeksi diri, sebelum akhirnya berkomentar macam-macam. Pun kemungkinan lain juga yaitu kita langsung mengambil simpulan sepihak dan langsung menyalahkan orang lain dengan berdalih macam-macam, untung-untungan jika kita mengomentari orang lain dengan kata-kata yang masih wajar tapi kalau sebaliknya, itu mah kebangetan.

Jika kita ada di posisi seperti itu, maka kebebasan adalah hak kita. Silahkan memilih ! Pilihan kita mau jadi yang mana, semuanya terserah kita. Termasuk jika kita harus memilih untuk selalu membidik "kambing hitam" terlebih dulu ketika mendapati problem.

Besar harapan agar janganlah sampai kita lebih terlatih menjadi orang yang ahli dalam menyalahkan orang lain. Ketika ada masalah, kita berharap kita ada di posisi teraman. Di pikiran kita, kitalah yang selalu benar. Kita terlalu suka membesarkan kesalahan orang lain, sementara ketika kita ada di posisinya maka kita seolah mengemis iba agar semua masalah clear.. Hei, sadarkah kita ?

Dari sebuah buku (Merawat kebahagiaan yg ditulis oleh seorang Psikolog), saya membaca sebuah kutipan, yang pun juga dikutip dari sebuah seminar motivasi, yang mana kutipan tersebut diterapkan oleh seorang perempuan hingga akhirnya semua jadi korban, dalam hal ini menjadi orang yang selalu disalahkan ketika problem terjadi, seperti menyalahkan anaknya ketika nilainya turun. Dia mengatakan bahwa itu karena salah anaknya yang lebih banyak bermain. Padahal, itu bukan sepenuhnya anak yang salah, tapi karena pola asuh orang tua yang masih butuh pembenahan agar anak lebih disiplin.

Yap, kurang lebih kata-kata speaker dalam seminar motivasi tersebut (kalo gak salah saya juga pernah mendengar kata-kata tersebut sewaktu di kampus) seperti berikut :

"Jika kamu ingin mengendalikan hidup sesuai keinginanmu maka kuasailah orang-orang disekitarmu supaya mau mengikutimu. Kamu yang memegang kendali, kamu yang benar, selain kamu salah".

Hhmm.. Nggak ada yang salah sih dengan ini hanya saja yakin kita mau ngikutin hal ini? Silahkan dipikir-pikir lagi. Kita diperintahkan untuk memposisikan  diri pada posisi benar sekalipun kita salah, pastinya dengan memaksimalkan jurus pamungkas dalam berdalih.

Sudah seharusnya kita tempatkan prioritas dalam selektifitas untuk menelaah informasi yang kita dapatkan sebelum akhirnya kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, terlebih jika kita adalah seorang pemimpin dalam tim. Jika seperti itu terus menerus apakah kita yakin bahwa tim akan betah bersama kita? Bisa saja iya pun bisa juga tidak. Bisa jadi okefain saja. Tapi, cobalah kita memikirkan untuk jangka panjangnya.

Sebaiknya, sebelum beburu menyalahkan orang lain, cobalah cek lagi ke dalam diri kita dan bertanyalah. Jika kita sebagai atasan maka tanyakanlah "Apakah selama ini saya sudah menjadi atasan yang baik untuk bawahan kita ? Sudahkah kita mengarahkan mereka dengan baik? Sudahkah kita merangkul mereka?".  Jika kita sebagai seorang sahabat bertanyalah "Apakah kita sudah menjadi sahabat yang baik bagi sahabat kita?". Dan silahkan tanyakan pertanyaan-pertanyaan lain sebagai bentuk inrospeksi diri kita.

Setelah mengembalikan semua ke diri kita sendiri dan jawaban telah kita temukan. Maka, salahkanlah orang lain jika mereka memang salah. Tapi, satu hal yang sejatinya butuh kita perhatikan adalah sebisa mungkin untuk tidak menyalahkan dengan makian kasar karena itu bisa membunuh kepercayaan diri mereka, mematikan kreatifitas, dan berbagai dampak negatif lainnya, pun yang merasakah efeknya tidak lain adalah kita juga.

Saya teringat sebuah kisah nyata di India yang diangkat menjadi sebuah film yang berjudul Taare Zameen Par, yang mengisahkan tentang seorang anak penderita Dyslexia (Penyakit yang menyebabkan kesulitan mengenal dan mengingat bentuk abjad dan angka) yang selalu mendapatkan perlakuan kurang baik dan makian kasar dari ayah, guru dan beberapa teman sekolahnya, yang akhirnya membuatnya berhenti menggambar (aktivitas yang paling disukainya), padahal dia sangat berbakat, bukan hanya itu akhirnya dia pun terpukul, stres dan akhirnya memilih banyak diam, tidak ingin berbicara dengan siapapun. Sungguh, dia hanya butuh dirangkul dengan baik dan sepenuh hati. Ini terbukti karena akhirnya Ishaan, sang anak, dipertemukan dengan sang guru yang berhasil yang membuatnya menemukan kembali jati dirinya dan siap berkarya untuk perubahan.

Kisah tentang tradisi di pulau Solomon, di daerah Pasifik Selatan, pun bisa kita lirik. Dimana para penduduknya memiliki kebiasaan unik ketika ingin menebang pohon besar. Mereka akan datang beramai-ramai dan meneriaki pohon tersebut dengan kata-kata kasar. Maka, biasanya pohon tersebut akan mati setelah 40 hari, dan setelahnya, kayunya bisa diambil.

Nah, dari kisah tersebut kita bisa belajar tentunya. Jangan sampai kita menjadi terlatih menyalahkan orang lain, menjadi hakim, tanpa melihat kedalam diri terlebih dahulu. Jangan sampai kita malah berujung pada perbuatan menzalimi orang lain. Ingat kita ini manusia yang pastinya gak pernah luput dari kesalahan.

Pun jika kita berdalih hal ini sebagai bagian dari training penguatan mental, maka okebaik. Pun juga kita harus ingat bahwa gak semua orang bisa cocok dengan metode seperti itu. Yap memang itu bisa jadi adalah hal terbaik versi dia, tapi jika ada cara yang lebih baik mengapa harus lewat cara main ngomong seenaknya, menyalahkan seenaknya. Ayolah, kita ini manusia yang punya hati guys !. Marilah kita bicarakan baik-baik. Semoga kita terus bertumbuh dalam tempaan segala proses yang baik-baik.

Semoga kita bisa mememtik makna. Terima kasih ☺


Our prophet, The Messenger of Allah, who is called Rasulullah Muhammad SAW, will be the representative of God for determining which is good and which is filth in this life. So, the muslims have to stay on point and understand that the standard will be the prophet himself.

A lot of times nowadays, society always decides that what is normal and what is not, what is acceptable what is unacceptable, by common and uncommon thing. They believe acceptability is a common thing and what is uncommon is unacceptable.

Therefore, we must understand that no matter how many people are doing it, we  are better watching out for Allah and using our thought and sticking to the good and purity of Islam if we are the people having good faith.

❤❤❤❤❤❤❤❤❤

Nabi kita, Rasulullah, akan menjadi perantara Allah dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk dalam kehidupan. Olehnya, para kaum muslim harus tetap pada rujukannya dan memahami bahwa  hal yang menjadi standar adalah Rasulullah sendiri.

Sering kali, masyarakat selalu menarik kesimpulan bahwa apa yang normal dan apa yang tidak, apa yang bisa diterima apa yang tidak dapat diterima, dengan berdasarkan pada hal umum dan tidak umum atau yang mana yang paling banyak dilakukan. Mereka percaya bahwa penerimaan adalah hal yang umum dan apa yang tidak biasa adalah tidak dapat diterima.

Oleh karena itu, sejatinya kita harus memahami bahwa itu bukan bergantung pada seberapa banyak orang yang melakukan hal tersebut. Kita lebih baik memperhatikan dan menaati perintah Allah dan menggunakan pikiran kita dan berpegang  pada kebenaran dan kemurnian ajaran islam jika kita  adalah orang-orang yang memiliki keyakinan yang baik.

Yap, masih terekam jelas hingga saat ini, bertahun-tahun yang lalu, ketika sengaja saya bertanya ke Bapak tentang kendaraan apa yang akan saya tumpangi saat harus kembali ke perantauan. Saya sengaja menanyakan ini, karena saya sangat ingin mendengar jawaban dari Bapak. Tepatnya sih, saya menyebut ini sebagai sebuah eksperimen 😁.


"Yaa, terserah kamu saja. Kalau kamu mau maik rental.. okee.. naik damri.. okee..mau naik motor juga oke.. atau naik pesawat juga okee.. Bapak nurut aja tapi kalau pesawat kamu tahukan itu mahal.."

Itu jawaban Bapak, dan itulah jawaban yang selalu konsisten Bapak lemparkan ketika saya menanyakan hal yang nadanya sama, bahkan hampir di setiap mudik, di waktu libur. Dalam hati, sebenarnya ingin ada improvisasi jawaban dari Bapak, seperti mungkin Bapak menyarankan saya untuk untuk mikir-mikir lagi kah atau mungkin melarang saya kah atau gimanaa gitu, pokoknya ada ungkapan yang menggambarkan kekhawatiran gituu 😅😅.

Lagi, ingatan saya kembali ke masa kuliah dulu. Aktivitas membolang saya yang cukup banyak dan ga butuh mikir banyak saat harus bepergian jauh, asalkan ada waktu yang pas dan kondisi memungkinkan, maka okebaik kita berangkat. Saya memang tak bisa langsung berkabar dulu ke mereka karena mengingat bahwa memang di rumah saya ga ada signal, tapi sekalinya nelpon, saya pasti bercerita banyak tentang berbagai aktivitas saya, mulai dari yang remeh temeh hingga yang paling beresiko.. dan yaa tetap saja, responnya biasa aja.. Malah paling seringnya hanya diberi komentar komentar seperti ini,

 "Astagaa... Jadi kapan lagi kayak gitu? Mau kemana lagi? Mau ke tempat ekstrim mana lagi?", 😐😐. 

Yaa.. bener jadinya.. Yaa kapan saya mau ikut kegiatan, maka semua tergantung saya. Saat kawan-kawan sekitar saya selalu mendapat larangan atau berbagai pertimbangan dari orang tua mereka atas asas kekhawatiran, sementara saya, "semua terserah padamu". Hal ini, kadang membuat saya suka iri. Aahhh.. Hingga akhirnya, sempat terpikir, waktu itu, tidak sayangkah mereka pada saya, pada anak perempuan mereka satu-satunya ini? 😆.

Rasanya masih belum puas. Hingga suatu ketika, ketika saya sedang di kampung (setelah 2 tahun ga pulang) dan akan balik ke perantauan lagi.. Dengan sengaja saya kembali bertanya.

"Ma Pa.. Saya pulangnya gimana? Pake motor, ataukah mungkin saya naik mobil aja..?"

Ternyata, waktu yang cukup panjang, bertahun-tahun, tak lantas membuat jawabannya bergeming. Masih sama. Lagi-lagi bapak hannya menjawab "terserah  kamu". Padahal, melarang dan memberikan pertimbangan keamanan saya adalah jawaban yang sangat saya harapkan. Tapi, rupanya saya ga mendengar itu secara langsung dari Bapak...

Lalu, saya melanjutkan.

"Jalanan kurang aman Pa, banyak longsor, musim hujan, jalanan licin, takut juga..".

"Yaa, kalau kamu rasa kamu ga kuat langsung naik mobil aja!".

"Tapi pak, kalau sy naik mobil motornya gimana? Ntar mahal juga kalo dimuat di mobil.."

"Yaa.. kan bapak bilang terserah kamu. Bapak nurut aja"..

Masih sama rupanya.. Yaa Allah..

Dan bukan hanya itu, bahkan ketika saya akan mengikuti berbagai kegiatan di luar pulau  semasa masih mahasiswa, tak ada larangan sedikitpun.. Hanya Ibu saja yang paling akan menanyakan beberapa hal, pesan dan nasihat untuk berhati-hati.


"Sama siapa berangkatnya? Berapa lama?..  Hati-hati aja di jalan dan di kampung orang"

Yaa itu saja, dan selesai.
💗💗💗💗💗
Lantas, apa yang saya rasakan atas hal tersebut ? Sempat terpikir bahwa Bapak dan Ibu tak sayang pada anaknya yang satu ini. Masak ga ada khawatir-khawatirnya gitu. Hingga perlahan saya paham, akhirnya. Apa yang mereka lakukan dan terapkan ke saya adalah sebentuk pola pengasuhan yang tidak lain untuk bertumbuhnya saya menjadi pribadi yang lebih tangguh, mandiri dan siap bertanggung jawab atas setiap resiko dari keputusan yang sudah, sedang dan akan saya ambil.

Saya sadar bahwa akhirnya sudah banyak hal "yang melampaui batas" yang sudah saya lakukan hingga saat ini, yang tak lain ini adalah buah manis dari setiap kepercayaan yang telah diberikan oleh Bapak dan Ibu, selama ini. Sudah sangat banyak kepercayaan pastinya, termasuk memberikan kebebasan untuk menentukan saya pengen pulang naik apa, motor atau yang lainnya, yang awalnya saya mikir bahwa mereka ga peduli dengan keamanan dan keselamatan anak mereka ini 😆😆.


Sebentuk kesyukuran hari ini pun tak lupa terpanjatkan karena kepercayaan itu berhasil mengukir senyuman mereka. Alhamdulillah.. Disaat banyak orang yang mengkhawatirkan keputusan orang tua saya untuk memberi kebebasan anaknya ini untuk melakukan apa saja asalkan masih berlajur di koridor yang tepat, dengan tidak melupakan pesan pataba-nya, pesan-pesan yang tidak pernah absent untuk disampaikan ke saya..

"Mama dan Bapak ga melarang kamu kemanapun kamu mau.. Asalkan kamu harus tetap berhati-hati dan ingatlah bahwa kamu tidak luput dari pengawasan Allah meski kamu mungkin luput dari pengawasan kami.. Jaga diri, jaga nama baik keluarga dan terpenting jadilah muslimah yang taat ! Jadilah orang baik..."

Namun, saya berhasil membuktikan, membuat Ayah dan Ibu tersenyum, karena banyak orang se-kampung yang akhirnya menjadikan saya sebagai teladan bagi anak-anaknya. Bukan bermaksud bangga atau sok benar.. Bukan.. Hanya sebentuk insight yang harapannya bisa membuka pandangan banyak orang, kita, secara lebih luas bahwa mendidik gak dengan harus mengikat dan mengekang dengan "kekhawatiran" yang kita ciptakan sendiri.

Pun, tak terlupa pesan-pesan Ibu yang selalu diutarakan lewat telepon ketika menghubungiku.


"Mama dan Bapak hanya berpesan 3 hal.. satu, sesibuk apapun kamu jangan sampai ninggalin sholat,, kedua.. pun hati-hati sama makhluk yang namanya laki-laki.. Mama gak larang kamu pacaran tapi ingat harus jaga batasan.. dan belajarlah untuk bertanggung jawab dengan setiap keputusan yang sudah kamu ambil"..

Itu pesannya yg selalu terngiang hingga saat ini, dan seperti biasa saya selalu mengomentari poin kedua dengan perkataan berikut ini,

"Iya Maa.. Anakmu ini sebisa mungkin akan menghindari hal itu.. Lagipula islam melarang kita atas hal tersebut"..

Aahh.. Kalian orang tua terbaik sepanjang masa. Maafkan anakmu yang sempat bernegatif thinking ini. Ternyata, memberi kepercayaan atas setiap keputusan adalah bentuk rasa sayang teromantis versi kalian.. I LOVE YOU SO MUCH MORE.. Terima kasih atas kepercayaannya hingga hari ini, masih memberikan dukungan penuh untuk memperjuangkan segala mimpi dan harapan 😢😊.

 💗💗💗💗💗💗
Itu sedikit celoteh hari ini, semoga kita bisa mengambil hikmah. Pun saya ingin berpesan, untuk kawan-kawan yang memegang penuh kepercayaan dari orang tua ataupun orang lainnya, silahkan manfaatkan hal itu sebaik-baiknya, jangan "disalahgunakan".. Dann, bagi yang belum memiliki kepercayaan penuh maka berkaryalah, ciptakan "bukti" bahwa kalian sudah siap menanggung amanah "kepercayaan" dari orang tua kalian. Tapi, jangan sampai nyalahin orang tua juga yaa.. Karena, setiap hal yang mereka lakukan tidak lain adalah untuk kebaikan setiap anaknya 😊.
  
Selamat menjadi lebih baik 😊!

_______________
Rukmana Suharta
Berikut adalah percakapan saya dengan seorang anak kecil yang merupakan salah satu dari sekian anak  super aktif yang pernah saya temui, namanya Al-Fatih, 4 tahun. Anak yang saya temui ketika ngajar privat calistung kakaknya, yang beda 1,5 tahun dengan sang kakak yang waktu itu masih kelas 1 SD. Ia adalah anak dari seorang dokter yang super sibuk, hingganya tak jarang kami belajar di ruang UGD Rumah Sakit Undata.


Setiap kali saya ngajarin kakaknya, pasti, dia pun ikut belajar. Tentu saja, dia akan mendapat perlakuan berbeda dari saya. Yep, biasanya saya akan menggambarkan beberapa gambar sesuai permintaannya untuk kemudian Ia warnai. Ahh.. untung saja, saya punya sedikit kemampuan untuk gambar menggambar. Lumayanlahh 😁Hihih..


Hingga suatu ketika, terjadilah percakapan singkat diantara kami.

Al-Fatih  : 
Ustadzah.. ustadzah.. buatkan gambar pohon pisang sama pohon manggis yaa (pintanya).

Saya :
Iya. Sini bukunya sayang..  

Al-Fatih : 
Gambarkan bunga juga, tapi yang ada potnya ustadzah yaa (pintanya lagi).

Saya :
Iya.

Al-Fatih : 
Gambarkan awan juga. 

 Saya :
(Saya hanya memjawab dengan anggukan, Sembari terus menggambar)
3 menit kemudian, gambarnya sudah selesai dan saya berikan gambarnya untuk di warnai.

Al-Fatih :
Ih ustadzah kenapa tidak ada rumahnya? Nanti siapa yg jaga pisang dgn manggisnya? Dimakan sapi nanti..

 Saya : 
Oh iya lupa, sini bukunya Ustadzah buatin rumah di gambarnya 😄.

(Dia diam memperhatikan hingga saya selesai menggambar)
Inilah hasil gambarnya

Saya :
Ini sdah selesai ! (Sambil memberikan gambar).

Al-Fatih :
Yah yah kenapa rumahnya di langit? Kenapa dekat dengan awan ? Kenapa begitu? (Protes Al-Fatih)

Saya :
(Saya mikir, iyasih bener juga.. Tapi..) Ga apa-apalah kan cuma gambar. Silahkan di warnai !.

Al-Fatih :
Ih tidak mau. Sy tidak mau rumahnya di langit, maunya d dekat pohon manggis dan pohon pisang.

Saya :
(Aduh nak 😂) Yaa sudah sini ustadzah buatin rumah lagi di bawah ( seperti gambar 2)..

Al-Fatih :
Terus kalau buat lagi, rumah yang di langit itu untuk siapa? Kan panas, dekat dgn matahari pun! 😐.
 
Saya :
Kita robohkan saja rumahnya 😎.

Al-Fatih :
Jangan Ustadzah, rumahnya untuk burung-burung saja karna burung kan suka terbang ke langit. 😎.

Saya :
Baiklah 😄.

Inilah hasil dari aktifitas menggambar kami, Rumah yang di dekat awan itulah Rumah Burung 😂
Gambarnya selesai, pun percakapan selesai dan dia kembali fokus mewarnai.

 *****
Itulah akhir dari perbicangan saya bersama Al-Fatih tentang Rumah Burung. Setidaknya, saya akhirnya menemukan satu bukti penguat lagi bahwa dibutuhkah pengetahuan yang lebih untuk menghadapi anak-anak. Hal ini terlihat dari si kecil Al-Fatih yang suka protes. Sebuah pelajaran juga dari sini bahwa ketika kita menggambar harusnya berhati-hati dan siagakan jawaban paling tepat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang mungkin muncul, terlebih mereka yang cukup kritis, imajinatif dan apa-apa harus logis. Pun kita juga harus paham bahwa hal ini membutuhkan kesabaran yang mumpuni karna seringkali anak-anak banyak maunya loh yaa.


Hohohooo.. selamat melatih diri ! 😊
Newer Posts Older Posts Home

WELCOME ABOARD!

I could look back at my life and get a good story out of it. It's a picture of somebody trying to figure things out.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • LAGU DAERAH TOLITOLI DAN ARTINYA - Makalrambot Lipu (Teringat Kampung Halaman)
    Lagu-lagu daerah Tolitoli cukup banyak yang menceritakan kerinduan seorang perantau terhadap kampung halamannya, termasuk lagu Makalrambot L...
  • LAGU DAERAH TOLITOLI DAN ARTINYA - Tinga Kinaaku (Suara hatiku)
    Naah, ini adalah salah satu lagu yang sangat terkenal juga di Tolitoli. Judulnya adalah " Tinga Kinaaku" , atau bisa diartikan seb...
  • LAGU DAERAH TOLITOLI DAN ARTINYA - Lutungan (Patriot Baolan)
    Nah, lagu ini adalah salah satu lagu fenomenal kota Tolitoli karena sering dinyanyikan dalam acara-acara kedaerahan, pun sering juga diperke...
  • 8 Alasan Kenapa Kamu Harus Ikut Event
    Rukmana (Delegasi Sulawesi Tengah) di  Indonesian Culture and Nationalism 2015 - Galeri Nasional Indonesia - Jakarta Pemuda dan mah...
  • Kata Kerja Transitif dan Intransitif, Apa Bedanya ?
    Materi Grammar atau aturan penulisan adalah salah satu materi utama dalam belajar bahasa Inggris. Materi verb atau kata kerja pada bagian...
  • CERITA LPDP : Jadi, sebenarnya begini...
    Pada hari itu, Selasa, 14 Agustus 2019, hanya ada perasaan sangat puas ketika keluar dari ruang wawancara 1 yang kata kebanyakan orang...
  • FORUM KAJIAN MUSLIMAH DI KAMPUNG INGGRIS
    Kesulitan Menemukan Forum-Forum Kajian Muslimah adalah salah satu hal yang sering dirasakan oleh sebagian besar orang ketika berada di kamp...
  • CERITA LPDP : Membuat Surat Keterangan Berbadan Sehat, Bebas Narkoba dan Bebas TBC di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pare Kediri (64212)
    Salah satu dari beberapa hal penting yang harus disiapkan dalam proses pendaftaran beasiswa LPDP, khususnya untuk tahap awal atau tahap SE...
  • Teman Seperjalanan
    Keberanian bukanlah tentang menghilangkan rasa takut. Tapi keberanian adalah ketika kita tetap melangkah, meski hati penuh keraguan, meski s...
  • SHARING AWARDEE : Persiapan Seleksi Wawancara LPDP bersama Kak RH. Andriansyah #1
    Assalamualaykum Warahmatullah Wabarakatuh.. Hey, you all, scholarship hunters, LPDP fighters.. Untuk apply sebuah beasiswa adalah se...

Categories

Beasiswa 6 Catatan 39 Cerita Saya 38 English Article 2 Kampung Inggris Pare 16 Pojok Umum 33 Refleksi 22 Tentang Toli-toli 8

Blog Archive

  • ►  2025 (3)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
  • ►  2024 (3)
    • ►  May (3)
  • ►  2022 (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2021 (13)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (7)
    • ►  July (1)
    • ►  May (1)
    • ►  February (2)
  • ►  2020 (7)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2019 (11)
    • ►  December (2)
    • ►  October (5)
    • ►  September (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
  • ▼  2018 (32)
    • ▼  December (3)
      • Bisa Berbalik
      • Sahabat "Ada Apanya"
      • Fokus pada Tujuan
    • ►  October (1)
      • PALU BANGKIT : Mewujudkan Niat Baik
    • ►  September (3)
      • Gak Perlu Malu Jadi "Tukang Galang Dana" di Jalan !
      • Rindu Rumah
      • Siapa yang Jahat ?
    • ►  August (4)
      • Terlatih Menyalahkan Orang Lain
      • Menentukan Kebenaran
      • Bentuk Kasih Sayang Paling Romantis ala Ibu dan Bapak
      • Al-Fatih dan Rumah Burung
    • ►  July (4)
    • ►  May (4)
    • ►  April (1)
    • ►  March (6)
    • ►  February (2)
    • ►  January (4)
  • ►  2017 (32)
    • ►  November (2)
    • ►  October (6)
    • ►  September (4)
    • ►  August (4)
    • ►  July (3)
    • ►  May (3)
    • ►  April (4)
    • ►  March (6)
  • ►  2016 (16)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (2)
    • ►  August (2)
    • ►  July (3)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ►  2015 (24)
    • ►  December (2)
    • ►  October (2)
    • ►  August (2)
    • ►  July (10)
    • ►  June (3)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2013 (1)
    • ►  August (1)

Total Pageviews

Contact Form

Name

Email *

Message *

Featured Post

Memaafkan atau dimaafkan bukanlah perihal mana yang lebih baik. Keduanya adalah dua hal yang sama-sama membutuhkan keikhlasan. Kita dilatih ...

rukmana.rs

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates